Sea Games

Sea Games

Liputannya tak sebanyak dan sehebat mantenan. Yang kita tunggu paling paling ya bal balan tim (pssi) bawah 23, yang alumni (pssi) u-19.
Mohon maaf, pssi nya dalam kurung. Wong ya memang sekarang ndak ada pssi.
Tadi sekilas, kontingen indonesia ada di peringkat 6. Di atas indonesia ada philipin, malaysia, vietnam, thailan, singopuro.
Saya usul, koni nya di bubarkan saja.
Alasannya, ndak punya prestasi internasional.
Gimana pak menpora...njenengan rak ya setuju tho usul saya? Wong alasan pssi di bubarkan, denger denger salah satunya ya itu...

Dongeng

Dongeng

Negeri kita itu kaya dongeng. Ratu Segoro Kidul (sayang sekali segoro lor nya ndak punya ratu...), Roro Jongrang, Tangkuban Prau, dll...panjenengan bisa membuat daftar dongeng sendiri.
Di jaman modern inipun dongeng masih menjadi konsumsi kita sehari hari. Tidak hanya kita orang asia, pun mereka orang eropa atau amerika.
Malah mereka menjejali pikiran kita dengan dongeng mereka. Mereka buat film dan pertunjukan tentang dongeng mereka. Dan kita menjadi penikmat setia, sambil makan kacang atau jagung...kriuk
Tak terasa, dongeng ini ternyata berimbas pada kehidupan kita. Kok bisa?
Kita suka sekali mendengar dongeng tentang raja, pangeran, putri raja dengan berbagai kisahnya. Saya kira hampir semua kita tahu tentang dongeng cinderella (apakah dongeng ini terinspirasi kisah dongeng cindelaras kita itu ya?). Atau putri tidur. Atau dongeng tentang kurcaci.
Jangan jangan hari hari ini kita di grujuk pemberitaan mantenannya putra pak pres, juga karena obsesi dongeng keluarga raja...?

Belajar Dari Njagong

Belajar Dari Njagong

Beberapa hari lalu, pas di undang njagong, saya bertemu dengan shohib yang bos catering acara njagong itu. Asyik jagongan, seorang pejabat lewat, sontak teman saya komen, 'kita perlu dukung lagi bapak ini, orangnya baik dll...'
Saya berusaha menjadi pendengar yang baik, tapi ya ndak tahan, akhirnya komen juga.
'Mas, hidangan njenengan yang mak nyus ini, kan ndak hanya faktor njenengan tho? Njenengan perlu pemasok lombok yang top, perlu tukang masak yang top, dan perlu sinoman yang oke, agar penyajiannya cepat.' 'Kalau salah satu tukang masak salah masukkan bumbu saja, salah salah makanannya malah meracuni sekian ribu undangan...'
Pejabat, kepala daerah, gubernur, presiden...saya pikir persoalannya hampir mirip. Kebijakan untuk rakyat tidak hanya faktor pejabat, kepala daerah, gubernur, atau presiden saja. Penting memang. Tapi jangan lupa, orang di sekitarnya, para think tank nya, partai pendukungnya, organisasi tempat ia besar, ikut berpengaruh besar.
Bos catering itu sangat penting, tapi hidangan mak nyus adalah sebuah proses panjang. Yang tak terlihat oleh banyak orang. Yang tersembunyi dari mata telinga publik, kadang berpengaruh besar dalam pengambilan kebijakan.
Eh...sebentar lagi pilkada serentak lho...para bos katering akan banyak muncul...
Masihkah kita percaya, bos katering adalah segalanya? Jaminan semua urusan rakyat akan beres?
Atau kita ini sukanya memang begitu...?

Belajar Dari Karbon

Belajar Dari Karbon

Dalam tabel Mendeleyev, berkode C. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya Karbon. Dalam dunia administrasi, kata ini dulu di kenal sebagai alat untuk membuat dokumen rangkap. Nota rangkap tiga, kwitansi rangkap dua, beres dengan karbon.
Ada banyak pelajaran dari karbon ini ternyata.
Karbon di alam ada dalam banyak bentuk. Arang, batu bara, berlian, rangka raket, rangka sepeda balap, bahkan sasis moto gp di buat dari karbon.
Ada pelajaran di sana, sama sama karbon, tapi fungsi dan nilainya berbeda. Berlian satu karat mungkin harganya lebih mahal daripada arang satu kuintal. Sama sama rangka karbon, harganya beda jauh antara rangka raket dan rangka moto gp.
Demikian pula kita manusia. Sama sama manusia, kita berbeda fungsi dan nilainya. Kita bisa menjadi arang, atau berlian, atau rangka raket, atau rangka sepeda balap atau rangka moto gp.
Mau menjadi apakah kita?
Karbon membentuk senyawa dengan unsur lain. Dengan oksigen membentuk karbon monoksida, atau bisa karbon dioksida. Dengan hidrogen membentuk bahan bakar fosil seperti bensin, solar, oli, atau avtur untuk mesin jet.
Ada pelajaran di sana. Sama sama manusia, fungsi dan nilai kita bergantung dengan siapa kita berteman atau berpasangan. Karbon berteman dengan hidrogen, dan menjadi sumber energi bermanfaat bagi manusia. Tapi berteman dengan oksigen, menjadi racun pembunuh. Karbon monoksida.
Siapakah teman teman kita? Menjadi manfaat atau racun?
Selamat belajar.

Belajar Itu Susah

Belajar Itu Susah

Tiga kata ini seolah tertanam di diri kita sejak kita duduk di bangku sekolah. Kata ini pula yang membuat kita ingin lari, bila di sebut kata belajar. Karena belajar, kita para manusia mempunyai kelebihan. Sebaliknya, ini pula kelemahan kita. Tanpa belajar kita bukan apa apa.
Kita sebenarnya kalah sama kucing dan sebangsanya. Panjenengan yang punya kucing, memelihara sejak kecil, tanpa indukan akan tahu. Kita tak perlu mengajari kucing menangkap tikus. Tak perlu mengajari, apabila jatuh posisi apapun, sampai di tanah kaki dulu yang menjejak.
Tiga kata ini pula yang membuat kita lebih memilih happy happy, yang ringan renyah. Acara tivipun akhirnya mayoritas berisi hal hal ringan, malah cenderung tingkah polah ndak jelas para presenter, atas nama hiburan. Pokoknya menghibur.
Saya kira akar persoalannya banyak, barangkali pendapat saya ini di perhatikan para cerdik cendekia, poro punggawa jejeging nagara.
Pertama, kita itu dalam urusan belajar lebih cenderung berorientasi nilai. Ya memang serba salah. Hasil pembelajaran itu butuh tolok ukur, dan tolok ukur itu adalah nilai. Persoalannya, seringkali substansi pembelajaran, nilai moral di balik pelajaran kadang menjadi susah di ingat. Ndak masuk ingatan.
Kedua, kalau para guru kita sudah berupaya keras mengajari kita, apa yang di ajarkan menjadi mudah lupa. Tertumpuk banyak hal. Apalagi tertumpuk hal ndak penting. Tawuran pelajar, tongkrongan, joged dangdut misalnya.
Ketiga, banyak yang kita pelajari tak berhubungan langsung dengan kehidupan keseharian kita. Panjenengan semua mungkin susah mengingat pelajaran cos, sin, tangen ketika sekolah dulu. Wong ya ndak berhubungan dengan urusan kita sehari hari.
Selamat belajar.

Belajar dari Pohon


Keteduhan di iringi gemericik air, di naungi pepohonan rindang, membuat saya jadi merenung.
Tunasnya sebatang pohon adalah harapan.
Kokohnya sebatang pohon adalah perlindungan.
Akar yang membelit bebatuan raksasa adalah keajaiban.
Bahkan jatuhnya dedaunan adalah sebuah investasi masa depan, dia bernama kesuburan.
Dari awal sampai akhir adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan.

Energi

Energi

Persoalan energi adalah persoalan sekarang dan yang akan datang. Artinya, kalau sekarang kita semua tidak memecahkan persoalan ini, kelak di masa datang, akan jadi masalah pelik.
Salah satu solusinya adalah energi nuklir. Saya kira pendapat pakar energi jepang betul, yang terpenting adalah kebijakan pemerintah dan opini publik. Energi nuklir adalah solusi. Tapi ya itu tadi, tergantung kebijakan pemerintah dan opini publik. Opini kita semua.
Saya lihat, ada potensi energi yang selama ini kita tidak manfaatkan optimal. Sinar matahari. Kurang apalagi kita ini. Sinar matahari ada sepanjang tahun. Dan matahari di negeri kita bersinar sangat terik. Kita ya memang memanfaatkan, tapi sebatas meme baju, meme krupuk.
Ayuh pak presiden, pak menristek, para pakar engineer...
Jelas energi matahari ini aman. Aman dan berlimpah. Apalagi yang kita tunggu?

Formaldehida

Formaldehida

Nama senyawa ini mungkin asing di telinga kita. Tapi, apabila di sebut nama formalin, kita semua paham. Fungsi senyawa ini, kita lebih mengenal sebagai bahan untuk mengawetkan mayat. Tapi, sebenarnya, hampir 50% produk formalin ini di gunakan sebagai salah satu bahan pembuat lem permanen untuk industri perkayuan, terutama tripleks.
Karena berfungsi sebagai desinfektan kuat, formalin di gunakan untuk mengawetkan mayat. Membayangkan saja kita ngeri. Tapi lebih mengerikan lagi karena formalin ini di salahgunakan sebagai campuran makanan olahan, agar awet katanya.
Dan kita semua menjadi korban.
Saya tak habis pikir, para penyalahguna formalin ini. Kok ya tega betul. Kok tegel men. Meracuni ribuan orang. Dan lebih tak habis pikir, kasusnya kok terus ada. Kok ya ndak kapok kapok. Kemana saja dikau 'efek jera'?
Saya pikir, formalin di makanan ini bisa jadi bukan hanya kesalahan para produsen penyalah guna. Mungkin juga kita kita, para konsumen ikut bersalah. Kok bisa?
Pertama, mungkin karena kita lebih suka makanan yang kelihatan bagus. Ayu kalau bahasa ibu ibu bakul di pasar. Tidak di rubung laler. Dan tidak mudah basi.
Kedua, kita mungkin kurang menghargai produk olahan para produsen. Kita selalu ingin kualitas kelihatan ciamik, tapi harganya murah. Malah bisa jadi prinsipnya, beracun dikit ndak papa, asal tampilannya bagus dan murah.
Apapun, kita perlu tuntaskan persoalan ini.
Saya pikir negara perlu lebih tegas dalam persoalan ini, sekaligus memberi solusi.
Lebih tegas, artinya efek jera harus betul betul ada. Memberi solusi artinya, memberikan alternatif teknologi tepat guna yang murah, bagi produsen makanan olahan. Kebanyakan usaha makanan rakyat adalah pengusaha kecil, jangankan laboratorium pengawas mutu makanan, bisa berproduksi tip hari saja, sudah bersyukur.
Saya meyakini salah satu kaidah dasar yang menjadi tugas penyelenggara negara, menutup rapat pintu keburukan, dan membuka lebar semua pintu kebaikan, beserta alternatif alternatifnya.