Nama senyawa ini mungkin asing di telinga kita. Tapi, apabila di sebut nama formalin, kita semua paham. Fungsi senyawa ini, kita lebih mengenal sebagai bahan untuk mengawetkan mayat. Tapi, sebenarnya, hampir 50% produk formalin ini di gunakan sebagai salah satu bahan pembuat lem permanen untuk industri perkayuan, terutama tripleks.
Karena berfungsi sebagai desinfektan kuat, formalin di gunakan untuk mengawetkan mayat. Membayangkan saja kita ngeri. Tapi lebih mengerikan lagi karena formalin ini di salahgunakan sebagai campuran makanan olahan, agar awet katanya.
Dan kita semua menjadi korban.
Saya tak habis pikir, para penyalahguna formalin ini. Kok ya tega betul. Kok tegel men. Meracuni ribuan orang. Dan lebih tak habis pikir, kasusnya kok terus ada. Kok ya ndak kapok kapok. Kemana saja dikau 'efek jera'?
Saya pikir, formalin di makanan ini bisa jadi bukan hanya kesalahan para produsen penyalah guna. Mungkin juga kita kita, para konsumen ikut bersalah. Kok bisa?
Pertama, mungkin karena kita lebih suka makanan yang kelihatan bagus. Ayu kalau bahasa ibu ibu bakul di pasar. Tidak di rubung laler. Dan tidak mudah basi.
Kedua, kita mungkin kurang menghargai produk olahan para produsen. Kita selalu ingin kualitas kelihatan ciamik, tapi harganya murah. Malah bisa jadi prinsipnya, beracun dikit ndak papa, asal tampilannya bagus dan murah.
Apapun, kita perlu tuntaskan persoalan ini.
Saya pikir negara perlu lebih tegas dalam persoalan ini, sekaligus memberi solusi.
Lebih tegas, artinya efek jera harus betul betul ada. Memberi solusi artinya, memberikan alternatif teknologi tepat guna yang murah, bagi produsen makanan olahan. Kebanyakan usaha makanan rakyat adalah pengusaha kecil, jangankan laboratorium pengawas mutu makanan, bisa berproduksi tip hari saja, sudah bersyukur.
Saya meyakini salah satu kaidah dasar yang menjadi tugas penyelenggara negara, menutup rapat pintu keburukan, dan membuka lebar semua pintu kebaikan, beserta alternatif alternatifnya.
EmoticonEmoticon