Bakdhan Kupat

Bakdhan Kupat

Hari ini di banyak tempat, terutama di daerah dengan kultur Jawa, ada Hari Raya Ketupat. Konon Bakdan Kupat ini sarat filosofi dan nilai nilai. Mengapa daun kelapa di sebut janur, mengapa kok di pake untuk ketupat, mengapa kok di sebut kupat, mengapa kupat kok di anter ke tetangga. Dan sekian banyak lagi filosofi dan nilai nilai dari Bakdan Kupat.
Adaa hal yang perlu kita cermati bersama. Bakdan kupat ini waktunya mesti seminggu atau sepekan setelah bakdan iedul fitri. Kemarin Iedul Fitri hari jumat, dan bakdan kupat sekarang, juga hari jumat.
Tampaknya ada pesan penting. Kita secara halus di minta untuk poso syawal.
Hadits dari Muslim, Rasulullah saw, 'man shama ramdhana tsumma ittaba'ahu sittan min syawwalan, ka annamaa shiyamu ad dahri'. 'Barangsiapa berpuasa ramadhan, kemudian di ikuti puasa 6 hari di bulan syawal, seperti halnya berpuasa setahun penuh'.
Hikmahnya, seolah kita diminta menjaga konsistensi ibadah kita di bulan ramadhan. Agar semangat ibadah di bulan ramadhan, tidak menguap begitu saja.
Setelah puasa 6 hari, kemudian ada bakdan lagi.
Tapi ya itu, kita sekarang ini mungkin kurang peka pada pesan pesan implisit. Pokoke bakdan kupat itu, ya makan kupat. Puasanya? Lha ya itu...
Itu sama ceritanya dengan kupat. Kupat konon berasal dari kata kulo lepat, saya bersalah. Dan kupatpun di antar ke para tetangga, sebagai ungkapan pengakuan kesalahan, dan permohonan maaf. Jaman telah berubah. Kupat mahal. Akhirnya ya beli sendiri, dan di makan sendiri.
Jangan jangan, Bakdan Kupat telah beralih fungsi. Hanya menjadi festival kuliner belaka. Karena kita memang sulit menangkap bahasa bahasa implisit.
Ahh...kita sekarang memang kaum verbalis, kabeh kudu di cethakke. Cetho tho...

Demokrasi Vs Kapitalisme


Judul tulisan saya mungkin aneh, karena biasanya demokrasi itu berkawan dengan kapitalisme. Menurut saya, lebih tepatnya hubungan simbiosis mutualisma.
Hari hari ini kita di suguhi berita tentang Greek Default. Yunani Bangkrut. Yunani gagal bayar utang pada Troika. Yunani adalah negara maju pertama yang gagal membayar utangnya. Yunani terancam di depak dari zonaisasi euro. Dan berbagai analisis tentang bangkrutnya Yunani.
Yang membuat saya tertarik itu sederhana. Kapitalisme itu mempunyai logika. Logika ini seolah menjadi kebenaran umum yang tak bisa di tolak. Misalnya tentang pentingnya bank dengan mekanisme bunga nya. Saking pentingnya urusan ini, naik turunnya bunga dari Federal Reserve atau apa itu namanya, bank sentral amerika bisa membuat kebat kebit menteri keuangan negara berkembang, semacam negeri kita, karena mempengaruhi lalu lintas keuangan negara.
Termasuk pula logika tentang pengetatan ini itu, sebagai persyaratan mendapat pinjaman. Kita pernah mengalami kejadian ini, ketika pak Harto menandatangani LOI dengan imf. Kita di suruh menjuali bumn bumn, karena dalam logika kapitalisme, negara tidak boleh campur tangan mekanisme pasar, apalagi menjadi pemain, semacam bumn. Dan terjadilah, bumn bumn dengan kinerja hebat di juali ibu pres.
Lha ini Yunani dapat persyaratan ini itu. Kalau pingin dapet pinjaman, harus begini begitu. Kok ya pemerintahnya unik, ngadakan referendum. Dan rakyat bilang no. Lha ini uniknya. Mereka ini tiap hari hidup di mekanisme ekonomi kapitalisme, sejak cindil abang sudah di cekoki kapitalisme. Dan mereka menolak solusi kapitalisme. Woh...betul betul elok.
Usul saya, kita ikuti saja drama demokrasi vs kapitalisme ini. Kita akan tau, seberapa digdaya nya kapitalisme menghadapi perlawanan dari dalam mereka sendiri.

Belajar dari Pak Soto


Kemarin adalah hari berkesan buat saya, Allah Taala banyak sekali memberikan pelajaran hidup.
Sore kemarin saya di undang buka puasa di salah satu warung soto terkenal di kota Solo. Bukannya warung soto buka pagi? Betul. Kemarin warung sotonya buka hanya khusus untuk buka puasa bersama. Sampai ada pelanggan yang ikut masuk, di kira jualan sore. Mohon maaf bapak, warungnya tidak melayani pembeli.
Alhamdulillah saya sempat jagongan dengan bapak pemilik warung. Pak Soto, begitu sajalah namanya. Saya melihat bapak yang tadi mengira warung sotonya buka, jadi bertanya. 'Kok mboten bikak sonten pak? Pelanggane njenengan kan remen, menawi sonten bikak.' Lha itu pikiran saya, yang sok bisnis oriented. Kayak yak yak o, melihat peluang pasar.
Jawaban Pak Soto mengejutkan saya, 'Mboten mas, dalu kagem ngibadah kemawon...' Mak dieegg...Wah...kena nih.
Pelajaran berharga sodara sodara. Peluang bisnis, uang, keuntungan bukan segalanya. Kita yang baru tahu sedumil tentang bisnis, kadang kita sok. Sok tahu tentang peluang bisnis, perputaran uang, nilai keuntungan bla bla bla. Pak Soto jualan soto mulai dari generasi orang tuanya, entah sudah berapa puluh tahun itu.
Pak Soto implisit mengajarkan agar kita tidak kemaruk. Serakah. Dan itulah problem banyak orang saat ini. Kemaruk bin serakah.
Ah...jangan jangan teori ekonomi kita selama ini salah...teori yang hanya menghasilkan manusia kemaruk. Miskin dimensi spiritual. Jauh dari agama.
Naudzubillah.

Anak Rame di Masjid


Jumatan tadi siang membetot ingatan saya ketika masa kecil dulu.
Jumatan adalah momen yang sangat di tunggu, karena bertemu dengan teman teman di dekat bedug masjid. Bisa di tebak, anak kecil bertemu teman sebayanya berarti adalah gojeg. Dimarahi bapak takmir tiap pekan, ya ndak kapok. Malah kadang ada yang usil, pemukul kentongan atau bedug di sembunyikan. Tentu saja di marahi habis, tapi ya ndak kapok itu.
Lha tadi siang saya jadi senyum sendiri. Anak anak berangkat jumatan, kok ya sangu layangan. Saat para jamaah datang dan rapi mengatur shof, lha kok malah ngulukke layangan. Dan layangan adalah magnet bagi anak lainnya. Bapak takmir marah marah. Dan hasilnya sangat klasik, ndak kapok.
Anak kecil adalah harapan, hiburan, sekaligus dilema. Ketika masjid kita penuh anak anak, optimisme masa depan sangat kuat, hati kita ikut ceria, dan di saat yang sama bisa repot dan marah marah. Anak anak itu bahan gojekannya kok ya ndak habis habis tho ya. Ada saja yang di gojekkan. Sekali kali terdengar, ngueerrr, anak nangis. Dan marah marahlah kita. Respon bapak bapak selalu sama, dari masa ke masa.
Saya itu selalu bertanya di hati, anak anak jan jan nya, bapak mboke pada kemana tho? Maksud saya, yang nangani, marah marah, atau moro tangan menjewer mereka ya biar pak mboke.
Tapi saya tahu juga, anak anak ini adalah generasi pejuang, yang salah satu syarat pentingnya adalah mengeyel. Ini anak bapak atau mboknya ndak ke masjid. Mereka mengeyel ke masjid. Ini inisiatif luar biasa sebenarnya.
Usul saya, jangan jauhkan anak dari masjid. Soal gojegan, betul memang, merepotkan. Tapi ya itulah yang nanti akan mereka ingat, sampai mereka dewasa.
Bapak takmir yang marah marahpun akan selalu mereka ingat. Itu kan memori kita juga, bapak takmir marah marah. Saya cuma khawatir, jangan jangan mereka juga merasa gembira, karena berhasil membuat pak takmir marah marah.
Soalnya, dulupun kita juga begitu.
Selamat beribadah ramadhan.

Maido


Saya merasa belum menemukan bahasa Indonesia yang pas untuk menggantikan kata maido. Mencela? Agak dekatlah dengan kata mencela. Tapi kita yang bahasa ibunya bahasa Jawa, ya tetap merasa tidak sreg. Kalau boleh usul, bahasa Indonesia nya maido, adalah memaido.
Kita ini memang suka berkomentar, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Kadang komen kita itu cepat sekali, semacam reflek tubuh.
Obyek yang kita paido macam macam. Teman sekerja, kinerja teman yunior kita, sampai pada kinerja pemerintah. Bos bos kita yang sekolah, keahlian, dan ketrampilannya sundul langit itu. Lho...ini rak ya memaido juga. Lha itu tadi saya bilang, memaido itu semacam reflek tubuh kita...
Saya kira, agar memaido kita itu tidak merusak, perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, lihat niat di hati kita. Kadang kita itu memaido karena dengki. Lihat orang bekerja, dalam hati kita merasa, sebenarnya hasil kerja dia lebih baik dari saya, cuma masih ada kurang sana sini. Karena rasa anyel, sebenarnya rasa dengki, kita eksploitasi saja kelemahannya. Memaido lah kita.
Kedua, perlu di pikir betul. Dampak memaido ini nanti menghasilkan perbaikan ndak? Kita ndak mungkin sampai pada yang kedua ini, sebelum kita memberesi nomer satu tadi, dengki. Memaido kadang jadi trending topik di dunia netizen, dan berdampak evaluasi kinerja pengelolaan negara. Tapi ya ada saja, memaido kemudian di balas memaido pula sama pendukung yang kita paido. Perang paido akhirnya.
Tampaknya, menurut saya, perlu di sosialisasikan etika maido. Ellhoh...apa iyya tho ya...maido kok pakai etika...
Atau gini saja, kita tanya orang Jepang...saya curiga, istilah maido itu berasal dari bahasa mereka, yang kita adaptasi. Tampaknya kok mirip bahasa Jepang. Haiikkk....

Belajar Dari Batu


Sebagai penggemar batu kelas pemula bin cekeremes, saya itu ya senang kalau melihat koleksi batu permata punya nya teman teman. Kelas saya ya itu, gemar melihat. Syukur syukur kalau di pinjami, atau di hadiahi.
Kapan hari, ada teman yang meminjami saya sebutir batu indah. Namanya king safir. Biru cerah bersinar. Saya ya merasa, wah elok betul ini batu. Ciamik, hebat.
Kata teman yang meminjami, ' bawa saja mas, kalau tertarik silakan di bayar dengan harga sesukanya '. Elok betul lagi ini, harga kok sesukanya. Teori ekonomi mungkin sulit menjelaskan katagori harga jenis ini.
Singkat cerita, king safir itu saya bawa ke teman lain, yang memang pakar batu safir betulan. Setelah di cek, komentarnya mengejutkan. Ini safir imitasi, bukan safir alam. Weh...elok lagi ini...bagusnya kayak begitu, kok ternyata imitasi. Saya jadi dapat pelajaran hidup berharga.
Pertama, penampilan sekilas kadang menipu. Karena kesan gemerlap yang kita lihat, kadang kita menyangka sesuatu itu hebat. Ujian dan waktu yang kemudian akan membuktikan.
Kedua, natural dan imitasi itu jelas berbeda. Proses alam yang keras dan panjang akan berdampak pada kualitas. Sebaliknya, proses instan, walaupun terlihat gemerlap, akan menghasilkan cacat permanen. Cacat ini laten, tersembunyi. Hanya di ketahui oleh ahlinya.
Ketiga, harapan yang terlalu besar, apalagi melibatkan emosi kita, setelah kita tahu semua itu imitasi, hasilnya adalah kecewa dan sakit hati.
Mungkin ini pelajaran hidup yang di berikan Allah Taala lewat sebutir batu indah ciamik berwarna biru. King safir.
Terima kasih kepada teman teman perbatuan. Ternyata banyak pelajaran di sana.

Materai


Ada isu yang beredar tentang rencana pengenaan bea materai pada pembelian barang di atas 300 ribu.
Ya baik sih, bagi pemerintah, itung itung menambah pemasukan. Wong target penerimaan pajak sama lik pres di tambah, sementara obyek pajak nya ya itu itu saja.
Tapi, mohon saya di ijinkan urun rembug, karena saya melihat ada kontradiksi kontradiksi.
Pertama, pemerintah berulangkali bilang, misalnya lik yusuf kalla, yang berencana menghapus subsidi listrik. Alasannya, subsidi ke barang harus di alihkan menjadi subsidi ke orang, agar lebih tepat sasaran dengan kartu sakti. Lho, kalau urusan subsidi ndak boleh ke barang, lha ini pungutan pajak kok malah ke barang ? Menurut saya, logika lurusnya, kalau subsidi nya ke orang, berarti pungutan pajaknya ya harus ke orang.
Kedua, kita ini di tarik pajak untuk orang yang sama, berkali kali. Terima gaji, kena pajak penghasilan. Beli ponsel, kena pajak. Dan akan di tambah lagi dengan bea materai. Kena pajak tiga kali dah...
Apa ya harus begitu tho pak pemerintah ? Lha mungkin teman teman yang kenyang ilmu perpajakan bisa ngasih pencerahan ke saya, yang nol puthul perkara ilmu perpajakan.

Adidaya


Beberapa waktu lalu amerika serikat heboh karena keputusan mahkamah agungnya yang melegalisasi pernikahan sejenis. Peristiwa hukum ini sebenarnya hal biasa, karena gaya hidup yang kemudian populer dengan istilah lgbt, sudah lama hidup di negara itu. artinya, legalisasi ini sebeñarnya cuma stempel. Pengakuan negara. Atau dengan kata lain, apabila ndak ada stempel ini, mereka ya jalan terus...egp...gitu kata mereka barangkali.
Cuma, mau tidak mau, peristiwa ini seolah menjadi energi baru bagi pendukung lgbt. Dalam bahasa kita, mereka merasa dapat angin.
Saya cuma penasaran, ingin tahu respon kita kita, negeri yang berbeda budaya, cara pandang persoalan, mengekspresikan kebebasan dll. Dugaan saya sementara ini, kita nanti mesti ikut heboh. Tampaknya betul juga. Kita ikut heboh. Saya kira, ini bukan semata persoalan lgbt yang menyentak pondasi keyakinan dan budaya kita. Tapi juga karena persoalan yang muncul ini, berada puncak etalase dunia. Kita yang samasekali tak berhubungan dengan sistem tata hukum amerika, jadi mau ndak mau melihat informasi ini. Mungkin bukan hanya terpapar informasi, bisa jadi muncul kehebohan baru.
Saya kira, begitulah sifat adidaya. Ada persoalan apapun, negeri negeri lainnya merasakan dampak. Minimal dampak informasi.
Ngomong ngomong, kapan ya Indonesia jadi negeri adidaya. Sehingga kita yang mempengaruhi, bukan di pengaruhi.
Selamat menunaikan ibadah ramadhan.