Tertawa

Tertawa

Salah satu karunia unik yang dimiliki manusia, adalah tertawa. Tertawanya manusia ini mengungkapkan berbagai ekspresi.
Bisa jadi ekspresi kita tergelilik karena ada hal yang lucu. Ini yang saya kira paling banyak.
Bisa jadi karena ekspresi rasa senang kita. Binatang punya ekspresi senang. Kucing atau anjing mengekspresikan rasa senangnya dengan ndusel ndusel tuannya. Tapi tetap saja mereka tidak bisa tertawa.
Bisa jadi tertawa itu di tangkap orang sebagai mengece, menghina. Lha ini yang kita semua perlu hati hati.
Tertawa akan jadi masalah kalau salah papan empan. Salah waktu, salah tempat, salah situasi, salah berhadapan dengan siapa.
Ekspresi kita akan selalu di tangkap orang lain, dan mungkin kadang di salah pahami. Termasuk tertawa.
Saya ini cuma usul ke pak presiden kita, mohon dengan hormat pak, kalau tertawa memperhatikan sikon. Karena pak pres ini karakter awalnya memang sumeh.
Matur nuwun. Saya tidak ngece atau menghina. Sekedar usul saja, di terima alhamdulillah, kalau tidak ya sudah.

Merdeka!

Merdeka!

Ini kata hebat yang akan kita dengar hari hari ini, merdeka.. Tangan mengepal, dan teriakkan...merdeka.
Saya yang jadi merenung, apa gunanya merdeka itu bagi bangsa kita?
Mungkin mayoritas kita menjawab, lepas dari penjajahan londo dan jepang.
Ada sebuah pertanyaan, apakah di jajah londo itu buruk? Kita reflek menjawab...iyya tho, jelas, gitu aja kok tanya...
Saya teringat cerita seorang mbah mbah, dulu jaman londo, hidup itu tertib. Kaya sih endak, tapi maling kecu brandal itu ndak ada. Kalaupun ada, gampang di cari, gampang di cekel. Cerita ini jelas perlu di konfirmasi. Tapi saya menangkap, woo...dijajah londo itu tidak rekoso total. Ternyata menurut simbah ini, jaman itu jaman tertib.
Lha sekarang kalo kita sudah merdeka, banyak maling begal rampok pengedar narkoba koruptor, lha apa enaknya merdeka itu?
Tapi saya paham, merdeka itu bukan cuma soal penguasanya londo atau pribumi. Bukan soal banyak kriminal atau ndak.
Merdeka itu adalah, kita menjadi diri sendiri atau tidak.
Merdeka kita absurd, kalau kita sendiri yang berkuasa, tapi cara berfikir, kelakuan, prinsip, aturan, sama dengan londo atau jepang. Kita cuma fisik diri saja yang tidak londo jepang. Keyakinan jiwa pikiran akhlak kita londo jepang. Naudzubillah.
Apa ya betul begitu? Saya kira, ya itulah gunanya kita memperingati hari kemerdekaan. Mengingat lagi. Berkaca lagi. Memperbaiki diri lagi. Menguatkan komitmen diri lagi, untuk menjadi diri sendiri.
Bangsa, negara, adalah kumpulan orang orang. Pribadi pribadi. Termasuk kita. Termasuk saya yang cuma orang cilik menthik, yang berusaha menemukan diri di tengah hingar bingar teriakan...Merdeka...!

Munyuk

Munyuk

Orang Jawa memang kaya bahasa. Sebuah benda, bisa mempunyai bermacam nama. Bisa jadi sedikit berbeda bentuknya, atau bahkan sama, tapi kaya nama. Alat pemotong, pisau besar, namanya bisa arit, bendho, mothik, clurit.
Lha ini sama untuk urusan hewan. Kewan cilik beda nama dengan hewan besar. Kuthuk dan pitik. Belo dan jaran. Gudel dan kebo. Gogor dan macan. Sawiyah dan cecak. Semua sama, hanya berbeda kecil dan besar.
Saya curiga, jenis hewan tertentu mempunyai nama nama yang rasanya berbau 'mingsuh'. Padahal kalau di gagas, mereka ini ndak punya salah apa apa.
Contohnya kera. Boso kromo hewan ini sungguh berwibawa, wanara. Tapi boso rakyat jelatanya terasa mengenaskan. Kethek, monyet, dan lebih mengenaskan lagi, munyuk. Saya ya kurang tau, apakah penamaan ini berkait dengan urusan olok olok.
Yang jelas, mantap betul kok mengolok dengan sebutan di atas.
Saya kira, kita wong Jawa itu kontradiktif. Satu sisi alus betul, dan bisa sebaliknya. Kita menyebut gigi yang bagus sebagai 'miji timun'. Alis yang bagus sebagai 'nanggal sepisan'. Sebaliknya, kita bisa ngunek unekke orang, 'woo...untumu njepat'.
Ellhoh...kejadian yang mengerikan, malah kita gunakan untuk ngunek unekke uwong.
Saya pikir ini pelajaran berharga bagi kita orang Jawa. Kita di ajari melihat sisi sisi diri kita, dari pilihan kosa kata yang kita gunakan. Inilah pesan 'ajining diri ono ing lathi'.
Kita memang perlu melatih diri terus menerus untuk menjadi orang yang 'njawani'. Jangan sampai menjadi wong Jowo sing kelangan Jawane.
Wah...kok jadi mbulet begini...

Mem-Bully

Mem-Bully

Saya kurang tau, membully itu dari kata apa. Apakah bull? Kerbau. Di istilahkan bully karena kerbau itu selalu menunduk. Membully orang agar ia tertunduk. Mungkin malu, atau tertekan, atau ketakutan.
Saya lebih memahami kata mengenyek atau mengece dalam bahasa Jawa. Ngenyek. Ngece.
Ngenyek itu saya merasakan nuansanya cenderung pada mengeksploitasi kelemahan atau kondisi orang lain. Kalau ngece, saya merasa ini kok berkaitan dengan hasil kerja, hasil karya orang.
Bully membully, enyek mengenyek, ece mengece ini tampaknya memang memuaskan. Apalagi kalau kita lagi di atas angin. Apalagi kalau pada dasarnya kita ada kebencian atau tidak suka pada yang kita ece.
Dunia medsos kita kadang membuat kita apabila berkomentar, atau memposting sesuatu, kita tidak berfikir panjang. Tampaknya bagus, menyenangkan, upload saja.
Kadang kita lupa, pertama, diri kita punya ego. Bahasa agamanya al hawaa. Dan kita ya harus ingat, ada setan yang selalu ngipas ngipasi. Membuat sesuatu yang buruk, menjadi seolah baik.
Kedua, kadang kita lupa, enyekan atau ecean kita membuat jarak dengan yang kita enyek, yang kita ece. Dan yang muncul hanya pertengkaran. Padudon. Bagaimana kita mau mengajak orang pada yang baik, apabila sebelumnya kita sudah membuat jarak dan luka hati.
Ada teladan dari Umar ra. Umar ra mengganti Khalid ra dengan Abu Ubaidah ra sebagai panglima kaum muslimin di Syam. Alasan Umar ra, 'saya mengasihani jiwa jiwa manusia karena kecepatan pedang Khalid'. Dalam bahasa kita, agar korban di pihak musuh ndak banyak. Agar mengurangi dendam di hati musuh. Kelak musuh kaum muslimin itu akhirnya sebagian menjadi penghela agama yang menghasung agama Allah Taala di bumi yang lebih luas.
Ini pula teladan para Walisongo, kita ingat sampai saat ini kita sulit menemukan, bahkan tidak ada orang menyembelih sapi di Kudus. Mereka menyembelih kerbau. Karena dulunya Kudus ini konon bernama Tajug. Kota peribadatan Hindu. Dan kita tau, kemudian hari orang orang Kudus adalah penghela agama di banyak tempat.
Kita sudahi saja enyek mengenyek, ece mengece.
Beda kritik dengan membully pertama kali ada di hati kita. Niat dalam hati kita.
Mohon maaf kalau saya pernah membully. Saya salah.

Ngalah


Kata Ngalah ternyata bukan berasal dari kata kalah. Penggunaan awalan Ng pada kata ini bermakna menuju. Lebih jelas lagi, bermakna menuju dan memposisikan diri pada. Pola ini sama seperti kata ngalas, yang bermakna menuju dan memposisikan diri pada alas. Menuju dan memposisikan diri pada hutan. Demikian pula kata ngawang.
Jadi makna ngalah adalah menuju dan memposisikan diri pada Allah.
Ini bisa kita pahami, karena biasanya penggunaan kata ngalah ini, di rangkai dengan pasrah. Pasrah ngalah. Kata ini mungkin dalam gambaran saya, adalah penerjemahan kata bahasa arab Tawakkal.
Mengapa bukan berasal dari kata kalah? Bahasa jawa sebenarnya tidak mengenal kata kalah. Kata kalah ini bahasa melayu, bukan boso Jowo. Kata paling dekat dengan pengertian kalah adalah kawon. Kata dasarnya awon. Buruk. Atau asor, bermakna bawah. Orang asor adalah orang yang berposisi di bawah, sesuatu yang menggambarkan derajat yang rendah.
Jadi, orang jawa sebenarnya tidak mengenal kalah. Karena kalah itu buruk dan rendah.
Pun orang Jawa tidak suka mengalahkan orang lain. Ada kata indah, menang tanpa ngasorake. Menang tapi tidak membuat orang lain jadi rendah.
Saya jadi bertanya tanya, kita ini siapa yang mengajarkan menang kalah? Kita bertanding, dan kalau menang jumawa, kalau kalah nangis atau ngamuk.
Orang yang suka ngasorake di sebut adigang adigung adiguna. Itu sifat yang sangat buruk bagi orang jawa.
Terima kasih pada cak Nun dan kang Agus yang memberi pemahaman literasi Jawa. Yang kita banyak terlupa. Nuwun.