Tertawa

Tertawa

Salah satu karunia unik yang dimiliki manusia, adalah tertawa. Tertawanya manusia ini mengungkapkan berbagai ekspresi.
Bisa jadi ekspresi kita tergelilik karena ada hal yang lucu. Ini yang saya kira paling banyak.
Bisa jadi karena ekspresi rasa senang kita. Binatang punya ekspresi senang. Kucing atau anjing mengekspresikan rasa senangnya dengan ndusel ndusel tuannya. Tapi tetap saja mereka tidak bisa tertawa.
Bisa jadi tertawa itu di tangkap orang sebagai mengece, menghina. Lha ini yang kita semua perlu hati hati.
Tertawa akan jadi masalah kalau salah papan empan. Salah waktu, salah tempat, salah situasi, salah berhadapan dengan siapa.
Ekspresi kita akan selalu di tangkap orang lain, dan mungkin kadang di salah pahami. Termasuk tertawa.
Saya ini cuma usul ke pak presiden kita, mohon dengan hormat pak, kalau tertawa memperhatikan sikon. Karena pak pres ini karakter awalnya memang sumeh.
Matur nuwun. Saya tidak ngece atau menghina. Sekedar usul saja, di terima alhamdulillah, kalau tidak ya sudah.

Merdeka!

Merdeka!

Ini kata hebat yang akan kita dengar hari hari ini, merdeka.. Tangan mengepal, dan teriakkan...merdeka.
Saya yang jadi merenung, apa gunanya merdeka itu bagi bangsa kita?
Mungkin mayoritas kita menjawab, lepas dari penjajahan londo dan jepang.
Ada sebuah pertanyaan, apakah di jajah londo itu buruk? Kita reflek menjawab...iyya tho, jelas, gitu aja kok tanya...
Saya teringat cerita seorang mbah mbah, dulu jaman londo, hidup itu tertib. Kaya sih endak, tapi maling kecu brandal itu ndak ada. Kalaupun ada, gampang di cari, gampang di cekel. Cerita ini jelas perlu di konfirmasi. Tapi saya menangkap, woo...dijajah londo itu tidak rekoso total. Ternyata menurut simbah ini, jaman itu jaman tertib.
Lha sekarang kalo kita sudah merdeka, banyak maling begal rampok pengedar narkoba koruptor, lha apa enaknya merdeka itu?
Tapi saya paham, merdeka itu bukan cuma soal penguasanya londo atau pribumi. Bukan soal banyak kriminal atau ndak.
Merdeka itu adalah, kita menjadi diri sendiri atau tidak.
Merdeka kita absurd, kalau kita sendiri yang berkuasa, tapi cara berfikir, kelakuan, prinsip, aturan, sama dengan londo atau jepang. Kita cuma fisik diri saja yang tidak londo jepang. Keyakinan jiwa pikiran akhlak kita londo jepang. Naudzubillah.
Apa ya betul begitu? Saya kira, ya itulah gunanya kita memperingati hari kemerdekaan. Mengingat lagi. Berkaca lagi. Memperbaiki diri lagi. Menguatkan komitmen diri lagi, untuk menjadi diri sendiri.
Bangsa, negara, adalah kumpulan orang orang. Pribadi pribadi. Termasuk kita. Termasuk saya yang cuma orang cilik menthik, yang berusaha menemukan diri di tengah hingar bingar teriakan...Merdeka...!

Munyuk

Munyuk

Orang Jawa memang kaya bahasa. Sebuah benda, bisa mempunyai bermacam nama. Bisa jadi sedikit berbeda bentuknya, atau bahkan sama, tapi kaya nama. Alat pemotong, pisau besar, namanya bisa arit, bendho, mothik, clurit.
Lha ini sama untuk urusan hewan. Kewan cilik beda nama dengan hewan besar. Kuthuk dan pitik. Belo dan jaran. Gudel dan kebo. Gogor dan macan. Sawiyah dan cecak. Semua sama, hanya berbeda kecil dan besar.
Saya curiga, jenis hewan tertentu mempunyai nama nama yang rasanya berbau 'mingsuh'. Padahal kalau di gagas, mereka ini ndak punya salah apa apa.
Contohnya kera. Boso kromo hewan ini sungguh berwibawa, wanara. Tapi boso rakyat jelatanya terasa mengenaskan. Kethek, monyet, dan lebih mengenaskan lagi, munyuk. Saya ya kurang tau, apakah penamaan ini berkait dengan urusan olok olok.
Yang jelas, mantap betul kok mengolok dengan sebutan di atas.
Saya kira, kita wong Jawa itu kontradiktif. Satu sisi alus betul, dan bisa sebaliknya. Kita menyebut gigi yang bagus sebagai 'miji timun'. Alis yang bagus sebagai 'nanggal sepisan'. Sebaliknya, kita bisa ngunek unekke orang, 'woo...untumu njepat'.
Ellhoh...kejadian yang mengerikan, malah kita gunakan untuk ngunek unekke uwong.
Saya pikir ini pelajaran berharga bagi kita orang Jawa. Kita di ajari melihat sisi sisi diri kita, dari pilihan kosa kata yang kita gunakan. Inilah pesan 'ajining diri ono ing lathi'.
Kita memang perlu melatih diri terus menerus untuk menjadi orang yang 'njawani'. Jangan sampai menjadi wong Jowo sing kelangan Jawane.
Wah...kok jadi mbulet begini...

Mem-Bully

Mem-Bully

Saya kurang tau, membully itu dari kata apa. Apakah bull? Kerbau. Di istilahkan bully karena kerbau itu selalu menunduk. Membully orang agar ia tertunduk. Mungkin malu, atau tertekan, atau ketakutan.
Saya lebih memahami kata mengenyek atau mengece dalam bahasa Jawa. Ngenyek. Ngece.
Ngenyek itu saya merasakan nuansanya cenderung pada mengeksploitasi kelemahan atau kondisi orang lain. Kalau ngece, saya merasa ini kok berkaitan dengan hasil kerja, hasil karya orang.
Bully membully, enyek mengenyek, ece mengece ini tampaknya memang memuaskan. Apalagi kalau kita lagi di atas angin. Apalagi kalau pada dasarnya kita ada kebencian atau tidak suka pada yang kita ece.
Dunia medsos kita kadang membuat kita apabila berkomentar, atau memposting sesuatu, kita tidak berfikir panjang. Tampaknya bagus, menyenangkan, upload saja.
Kadang kita lupa, pertama, diri kita punya ego. Bahasa agamanya al hawaa. Dan kita ya harus ingat, ada setan yang selalu ngipas ngipasi. Membuat sesuatu yang buruk, menjadi seolah baik.
Kedua, kadang kita lupa, enyekan atau ecean kita membuat jarak dengan yang kita enyek, yang kita ece. Dan yang muncul hanya pertengkaran. Padudon. Bagaimana kita mau mengajak orang pada yang baik, apabila sebelumnya kita sudah membuat jarak dan luka hati.
Ada teladan dari Umar ra. Umar ra mengganti Khalid ra dengan Abu Ubaidah ra sebagai panglima kaum muslimin di Syam. Alasan Umar ra, 'saya mengasihani jiwa jiwa manusia karena kecepatan pedang Khalid'. Dalam bahasa kita, agar korban di pihak musuh ndak banyak. Agar mengurangi dendam di hati musuh. Kelak musuh kaum muslimin itu akhirnya sebagian menjadi penghela agama yang menghasung agama Allah Taala di bumi yang lebih luas.
Ini pula teladan para Walisongo, kita ingat sampai saat ini kita sulit menemukan, bahkan tidak ada orang menyembelih sapi di Kudus. Mereka menyembelih kerbau. Karena dulunya Kudus ini konon bernama Tajug. Kota peribadatan Hindu. Dan kita tau, kemudian hari orang orang Kudus adalah penghela agama di banyak tempat.
Kita sudahi saja enyek mengenyek, ece mengece.
Beda kritik dengan membully pertama kali ada di hati kita. Niat dalam hati kita.
Mohon maaf kalau saya pernah membully. Saya salah.

Ngalah


Kata Ngalah ternyata bukan berasal dari kata kalah. Penggunaan awalan Ng pada kata ini bermakna menuju. Lebih jelas lagi, bermakna menuju dan memposisikan diri pada. Pola ini sama seperti kata ngalas, yang bermakna menuju dan memposisikan diri pada alas. Menuju dan memposisikan diri pada hutan. Demikian pula kata ngawang.
Jadi makna ngalah adalah menuju dan memposisikan diri pada Allah.
Ini bisa kita pahami, karena biasanya penggunaan kata ngalah ini, di rangkai dengan pasrah. Pasrah ngalah. Kata ini mungkin dalam gambaran saya, adalah penerjemahan kata bahasa arab Tawakkal.
Mengapa bukan berasal dari kata kalah? Bahasa jawa sebenarnya tidak mengenal kata kalah. Kata kalah ini bahasa melayu, bukan boso Jowo. Kata paling dekat dengan pengertian kalah adalah kawon. Kata dasarnya awon. Buruk. Atau asor, bermakna bawah. Orang asor adalah orang yang berposisi di bawah, sesuatu yang menggambarkan derajat yang rendah.
Jadi, orang jawa sebenarnya tidak mengenal kalah. Karena kalah itu buruk dan rendah.
Pun orang Jawa tidak suka mengalahkan orang lain. Ada kata indah, menang tanpa ngasorake. Menang tapi tidak membuat orang lain jadi rendah.
Saya jadi bertanya tanya, kita ini siapa yang mengajarkan menang kalah? Kita bertanding, dan kalau menang jumawa, kalau kalah nangis atau ngamuk.
Orang yang suka ngasorake di sebut adigang adigung adiguna. Itu sifat yang sangat buruk bagi orang jawa.
Terima kasih pada cak Nun dan kang Agus yang memberi pemahaman literasi Jawa. Yang kita banyak terlupa. Nuwun.

BPJS

BPJS

Hari hari ini banyak diskusi tentang BPJS. BPJS jadi trending topic netizen. Bahkan kalau ngetik di google BPJS, segera muncul BPJS haram dll. Nah lho...
Terlepas dari pro kontra kajian para ulama di MUI, saya lihat ada hal positif.
Pertama, konsideran syariat dalam pengambilan keputusan. Kebijakan publik yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Bahwa mayoritas rakyat beragama Islam, itu realitas. Bahwa mayoritas rakyat membutuhkan melaksanakan kewajiban syariat agamanya, juga adalah realitas. Sehingga, kebijakan publikpun, perlu memperhatikan aspek syariat ini.
Kedua, bahwa pelaksanaan aspek aspek syariat akan membutuhkan banyak ahli. Kaum ekspert. Ini berita baik. Ahli ekonomi syariah, asuransi syariah, dan mungkin banyak hal lagi kedepan yang kita butuhkan.
Saatnya ummat Islam berkontribusi.
Saya pikir ini PR yang bagus bagi para pengambil kebijakan publik, para konsultan, CEO BPJS, dan lain lain. Bila selama ini hanya copy paste dengan penambahan varian sistem asuransi publik, dari negara barat. Sekarang harus di tambah lagi. Aspek syariat.
Saya pikir kita perlu menyambut baik diskusi diskusi ini. Ndak usah ikut mumet. Biar para ahlinya saja yang mumet.

Anyel Pada Media

Kadang kita itu anyel sama media. Kadang marah marah juga. Misalnya, kita kadang merasa tak adil, ada kasus yang di ekspos terus terusan. Di saat yang sama, ada kasus serupa liputannya minim. Sampai kita merasa, ini media pemberitaan atau media pencitraan tho?
Kadang kita sampai punya julukan pada media yang kita anyeli. Misalnya metromini, atau julukan lain yang saya wegah untuk mengingat.
Kalau saya? Ya sama. Kadang saya anyel, ada kasus yang menurut saya tidak menyangkut hajat hidup bangsa, di ekspos dan di eksplor habis, seolah ini sangat penting bagi orang se Indonesia. Beritanya ben byar, rina wengi. Besoknya ada kasus lain, ellhoh...lha kok berita yang kemarin itu lenyap. Ini sak penake dewe.
Tapi saya gagas gagas, yang salah itu ya saya sendiri. Lha wong sekarang itu media adalah industri. Jualannya ya berita, infotainmen, sinetron, audisi dll. Tentu saja mereka berusaha mengemas yang di jual dengan cara yang menarik. Mengerahkan semua ilmu produksi dan pemasaran, agar jualannya laku.
Ada satu acara yang dulu itu membuat heboh kita semua, karena ada joget massalnya. Sampai jam sahur pun di pakai joget. Kemudian acara ini di stop KPI. Saya semula mengira, penggemar acara ini pada protes dan mendemo KPI. Ternyata tidak. Biasa saja. Mereka ganti nonton acara lain. Woo...mereka ini memang paham betul, media adalah industri.
Usul saya, kalau begitu, kita hadapi saja media itu sesuai hukum pasar. Tidak bakal ada supply kalau tidak ada demand. Para manajer tivi itu punya idiom, hidup matinya pekerjaan mereka ada di remote tivi para pemirsa. Ganti channel, habislah pekerjaan. Demikian pula media cetak, hidup matinya tergantung kita beli koran atau tidak.
Susah memang. Tapi sekarang ya ada saja fenomena menarik. Media besar, biasa di sebut media mainstream ikut heboh karena pemberitaan viral medsos. Contohnya kasus hoax pembalut wanita kemarin.
Jadi, media media itu kita hadapi biasa sajalah. Ya memang betul, kalau bengkok harus di luruskan.

Belajar Dari Janur

Belajar Dari Janur

Tulisan ini sekedar lintasan pikiran saya ketika ingat banyak ketupat, di Bakdan Kupat kemarin.
Di sebut Janur karena jene manggone ono ing nduwur. Jene artinya kuning, warna alami janur.
Janur di struktur bangunan pohon kelapa, terletak paling atas dalam satu satuan, dan selalu menghadap ke atas. Pelajarannya, puncak dari segalanya adalah Tauhid. Laa ilaha illallah. Biasanya kita membayangkan Allah Taala, Tuhan semua manusia, ada di atas. Dalam urusan ubudiyah ini, kita semua menjadi satu satuan. Orang orang beriman itu bersaudara.
Untuk mendapatkan janur, kita harus bersusah payah. Memanjat pokok kelapa, melewati rangkaian dahan kelapa, dan kadang ada banyak serangga menghadang. Demikianlah urusan Tauhid, urusan Iman. Iman tidak di dapat ujug ujug. Butuh upaya. Bahkan kadang upaya kita mendapat banyak halangan. Hanya orang orang yang punya keyakinan dan tekad kuat yang memperoleh janur. Memperoleh iman yang lurus.
Untuk menjadi sesuatu yang fungsional, sesuatu yang bermanfaat, janur harus di rangkai oleh tangan tangan terampil, menjadi kupat. Pelajarannya, iman dalam diri kita harusnya menjadi sesuatu yang fungsional, aplikatif, dan bermanfaat. Untuk menjadi bermanfaat ini, kita semua perlu saling menjalin tangan, bahu membahu, membentuk jalinan. Dalam bahasa al Quran ini di sebut 'ba'dhuhum auliyaa u ba'dh' QS 9:71. Untuk membentuk jalinan ini, kita semua butuh pengetahuan dan ketrampilan. Agama menjadi hidup di tengah masyarakat karena saling belajar, saling berbagi, saling bahu membahu. Anda baru bisa membuat ketupat apabila belajar langsung dari yang sudah bisa, dan harus mempraktekkan. Itulah agama, agama bukan angan angan. Agama adalah praktek nyata.
Kupat harus di isi. Demikianlah agama dan diri kita. Kupat yang nikmat, yang membuat nyaman adalah kupat yang berisi dan cukup matang. Dan semua orang akan senang. Semua di mulai dari berisi dan matang.
Dan sepotong kupat yang terhidang adalah sebuah pelajaran panjang.

Adaptasi


Saya kira pengertian adaptasi ini cukup jelas, walaupun bahasa serapan, pemakaiannya sudah sangat umum.
Kita manusia, mempunyai kemampuan adaptasi sangat baik. Bagi yang pns pemkot, barangkali pertama dua tiga kali memakai pakaian adat risih, lama lama nyaman juga. Inilah adaptasi.
Dulu beli bakso 10.000 glindingannya besar besar. Puas rasanya kita beli, kita menyebut cucuk sama harganya. Berhubung harga daging naik, harga jual baksonya tidak naik, maka ukuran glindingan berkurang. Kita walaupun merasa kurang nyaman, kita tetep beli dan menikmati bakso. Itulah adaptasi.
Saya khawatir urusan adaptasi ini meliputi diri kita semua, hari ini dan besok.
Harga harga makin mahal, dollar terus merangkak naik, kualitas hidup kita menurun, bla bla bla. Karena proses adaptasi, pertama dua tiga kali kita tak merasa nyaman. Selanjutnya kita beradaptasi. Paling kata sakti ini yang keluar, ' ya sudahlah, meh piye maneh...'
Betul memang, dengan adaptasi kita bisa bertahan. Dengan adaptasi kita bisa menjaga eksistensi hidup kita.
Tapi tidak berarti kita menyerah. Ketika kabut asap pembakaran hutan meliputi kota anda, anda mungkin bisa beradaptasi. Tapi kebakaran hutan tetap saja harus di hentikan.
Usul saya, kita tetap beradaptasi, karena memang kita tangguh di sana. Tapi anomali tetap harus di koreksi.
Sopo sing salah, kudu seleh. Begitu kata bijak orang Jawa, untuk mengoreksi anomali.
Mungkin banyak kata bijak lain. Dan menurut saya, jangan terlalu percaya kita mampu terus menerus beradaptasi. Suatu saat mbledos juga.
Saat itulah krisis menerpa kita semua.
Mohon maaf bila tulisan saya agak sulit di pahami. Ini bahasa implisit.

Karubaga Tolikara (2)

Karubaga Tolikara (2)

Saya mencoba mencari di peta google Karubaga. Memang muncul kata Karubaga Papua, tapi daerah di peta yang di tunjukkan, namanya nihil. Daerah terdekat yang bernama adalah Tiom. Ini ya daerah apalagi...
Karubaga Tolikara kemudian saya cari di kamus wiki, informasi agak jelas, bahkan ada satu dua foto kota Karubaga.
Sekilas, kabupaten ini memang elok betul. Jauh di pedalaman Papua. Terselip di antara jajaran pegunungan. Tidak ada akses darat menuju kota ini. Akses terdekat adalah transportasi udara, 20 menit dari Wamena. Kalau nama Wamena ini, agak akrab di telinga saya. Foto tentang Karubaga dari jauh lebih elok lagi, kota ini seakan berdiri di tepian tepian tebing.
Membayangkan Karubaga Tolikara, saya jadi respek ke saudara saudara kaum muslimin di sana. Ini kota doh lor doh kidul, adoh ratu cedhak watu. Saya ya jadi membatin, yang pertama kali punya ide datang ke kota ini, jelas superhero kelas wahid. Bangsanya supermen betmen minggir dah...
Saya juga mencoba memahami proses adigang adigung adiguno nya sekelompok orang di sana, yang membawa semangat intoleran. Yang rumangsanya semua harus manut mau nya. Yang merasa dengan membuat sebuah organisasi agama, mereka berkuasa mengijinkan dan menolak kegiatan keagamaan orang lain. Kalau di Jawa kita bisa bilang, ' ellhoh, opo iki negarane mbahmu po? ' Tapi saya ya sadar, Karubaga Tolikara ini bukan jawa. Yang bahkan seorang yang sinis pun kewalik walik menyebutkan, Torikala...
Dan saya merasa gagal paham.

Papua

Papua

Hampir semua kita membayangkan Papua itu identik dengan wilayah sangat luas, belantara bergunung gunung, dengan penduduk berciri fisik khas, berbaju khas, dan arsitektur rumahnya pun khas.
Tidak salah memang, tapi sebenarnya itu cuma potret sebagian saja.
Saya punya tetangga yang kelahiran Papua. Ciri fisiknya tidak berbeda sama sekali dengan orang Jawa. Baru kelihatan 'Papua' nya kalau sudah bertemu dengan anggota keluarganya, mereka berbicara dengan logat 'kemrutug'. Logatnya unik sekali. Sangat Papua.
Walaupun tidak berambut keriting, tidak beragama kristen, tapi apabila berbicara tentang kecintaan dan kerinduan kepada Papua, sangat jelas bahwa mereka adalah 'Orang Papua'.
Saya pernah menanyakan kepada teman seperti tetangga saya ini, apakah mereka punya cita cita tinggal di tanah Jawa? Jawaban mereka tegas, tidak. Bagi mereka, tanah air sekarang dan ke depan adalah Papua.
Mereka ini adalah realitas Papua sekarang. Walaupun barangkali mereka berciri fisik seperti orang Jawa, orang Bugis, orang Madura, atau yang lain, tetap saja mereka adalah orang Papua. Mereka tidak mau di katakan sebagai orang Jawa, Bugis, Madura atau yang lainnya. Darah mereka adalah darah Papua. Jiwa mereka adalah jiwa Papua.
Jadi, kalau ada pihak pihak mengira bahwa Papua adalah identik dengan rambut keriting dan kristen, saya kira kok salah besar. Sekali lagi, salah besar.
Papua adalah keragaman. Papua adalah miniatur Indonesia. Sekarang dan yang akan datang.

Kethek Menek


Masih ingat lembar legendaris ini? Dulu di nyanyikan para diva di bis akap dengan kode 'kethek menek'.
Dulu lembar ini cukup berharga untuk pitrah dan 'bunga bunga rupiah' bagi mas pengamen di bis.
Lembar hijau ini sekarang tinggal cerita, seperti halnya tinggal ceritanya 'nilai' lima ratus rupiah. Lagu kethek menek mungkin sudah tidak pernah lagi mengalun.
Pongo Pygmaeus? Semoga nasibmu tidak tertelan jaman kawan... Seperti lembar gambarmu yang hanya tinggal sisa sisa, atau hanya menjadi koleksi kebun binatang dan penangkaran.

Pitrah

Pitrah

Kata ini tak berķait dengan zakat. Pun tak berkait dengan kegagalan saya mengeja huruf F. Kata ini populer di Solo dan sekitarnya, terutama di hari raya.
Kata ini identik dengan bagi bagi uang di hari raya, terutama untuk anak anak. Pun orang dewasa kadang meminta, meskipun sekedar kelakar belaka.
Kita ingat masa kecil kita, momen teristimewa adalah berziarah ke tetangga, dan mendapat pitrah sekeping dua. Di zaman itu keping rupiah masih sangat berharga.
Di zaman kini pun tak jauh beda. Betapa si anak berwajah cerah mendapat lembar biru, merah, atau jingga. Ya, saat sekarang, keping rupiah tak lagi berharga.
Tapi ada yang luput dari perhatian kita. Kita tak cukup memberi bekal ilmu si anak, tentang uang di tangan mereka. Hanya tau merah lebih berharga. Tak tahu setelah itu mau kemana.
Yang terjadi kemudian, kita hanya mewariskan hura hura. Mercon kembang api mainan cina menjadi keseharian mereka.
Begitulah kita hari ini, menanamkan silau harta tanpa tau kegunaan manfaat utama.
Ini tulisan sekedar prosa liris berakhir huruf A. Tak apalah di baca sekedar saja.

Marketing Asongan

Marketing Asongan

Anda semua sudah langsung nyaut dengan istilah ini, dan teringat kosa kata...akua..akua..mison..mison...atau masih anget...masih anget...atau kalau di jawa barat...tarahuk...tarahuk...
Saya yakin pengasong dengan model marketingnya ini hanya ada di Indonesia kita. Kalau anda lihat, cara mereka memasarkan, semua hampir mirip. Dan saya kira, model mereka ini adalah model pemasaran paling agresif dari sekian banyak model pemasaran. Saya curiga, jangan jangan mereka ini sebelum menjadi pengasong kuliah dulu, minimal d 1, yang stadium general nya di buka guru besar marketing mereka. Minimal setara dengan guru besar mark plus itu.
Saya menyimpulkan ini, karena minimal kita melihat ciri mereka :
Pertama, teori spesifikasi. Ada pengasong khusus cangkokmen, akua mison, apel. Bahkan makanan yang di Prancis sana di sebut escargot, di jajakan di sekitar kediri, namanya nol dua. Sekedar tau, nol dua itu kode judi nomer buntut untuk hewan bernama bekicot. Ini asongan memang kaya budaya, sampai judi nomer buntut pun menjadi referensi marketing. Apa ya ndak elok itu.
Kedua, teori nilai seni. Kita patut acung jempol dengan kreatifitas mereka menemukan kosa kata. Kosa kata yang di balut dengan nada dan ritmis kata. Yak...yang manis...yang manis. Yak...yang haus...yang haus. Model ritmis ini ternyata juga menjadi model pemasaran jitu untuk banyak produk, misalnya rosok...rosok. Atau sayang anak...sayang anak... Inspirasi asongan memang mendunia.
Ketiga, teori agresifitas. Semua orang di bis mereka pastikan tau jelas produk mereka. Butuh tidak butuh, pokoknya harus tau dulu. Yang tidurpun kalau perlu di gugah dengan suara nyaring di samping telinga. Tidak cukup itu, barang yang mereka asongkan di tonyolkan di depan mata kita. Elok betul mereka ini. Belajar teori audio visual darimana ini?
Apakah ya betul mereka pengasong berteori teori kayak saya? Ya jelas endak. Wong mereka itu jadi pengasong ya karena kepepet. Kuliah? Ya semakin tidak.
Salam asongan.

Bumel

Bumel

Saya kurang tau, mengapa bus kelas ekonomi itu kok di sebut bumel. Apakah bus ekonomi lemah? Entahlah. Yang jelas pada masa hari raya, para penumpang di untel untel. Yang berdiri di depan diminta mundur, yang di belakang diminta maju. Ayo maju mas, sih longgar kui lho...sambil terus teriak ke calon penumpang, ayuh munggah, ra ono bis... Wah nek iki ngapusi pak...
Anda yang belum pernah naik bus bumel, saya rekomendasikan sekali kali merasakan. Terutama anda para pejabat. Blusukan naik bus bumel.
Banyak kejadian unik, cermin rakyat kita. Ada ibu ibu yang bawa dua tiga anak, sambil optimis ada yang mengalah orang lain rela berdiri. Ada yang marah marah. Ada yang ndak jelas, pak kondektur menaikkan penumpang sampe uyel uyelan ini karena faktor mesakke para calon penumpang yang kleleran, atau karena ini kesempatan ambil untung.
Bumel oh bumel, di rindukan tapi ya di maki maki. Kalau berjalan lambat hati hati, di grundeli 'iki bis opo keong...' kalau cepat di grundeli juga 'aku sih duwe anak bojo pak sop...'.
Apa kita semua itu ya memang begitu ya...suka mengrundel.
Dan memang kita sering serba salah, begini di komentari, begitu juga di komentari, diampun juga di komentari.
Pak sopir memang hebat betul, para penumpang mau ngrundel, tetep jalan terus. Coba kalau mutung, bisnya di tinggal. Apa ya para penumpangnya ndak mumet.
Ini jelas pelajaran berharga.
Selamat pulang kampung, dan menikmati indahnyà bus bumel.

Karubaga Tolikara

Karubaga Tolikara

Saya mengernyitkan dahi dua kali. Pertama, tak habis pikir, kok ya ada orang yang kepikiran merusak suasana khusyuk sholat ied, sambil berharap puasanya di terima Allah Taala. Kedua, ini daerah Papua sebelah mana lagi. Tapi saya tahu, saya ini memang awam soal geografi Papua, yang luasnya berlipat lipat pulau Jawa.
Membaca berita Tolikara, setiap orang pasti punya kesimpulan dan bayangan beragam. Simplifikasi simplifikasi sangat mungkin dan mudah terjadi, mudah.
Agar bayangan dan simplifikasi tidak berkepanjangan, aparat pemerintah harus bertindak cepat.
Satu lagi, kita tidak usah takut dengan Sara. Kalau memang itu kenyataanya, ya sudah tho. Kita selesaikan bersama. Kita itu sudah ribuan tahun hidup dalam keanekaragaman.
Kita tak perlu menghindari persoalan dengan menutup mata. Ada bahaya di depan kita, langkah paling mudah adalah menutup mata. Tapi itu kan tidak menyelesaikan persoalan, malah membuat kita celaka.
Selamat bekerja pak bu pemerintah. Tidak ada hari libur untuk kasus semacam Tolikara.

Mercon

Mercon

Mendengar kata ini, mungkin sikap para pembaca terbagi dua. Satu, langsung anyel karena terbayang suara berisik bin bikin njondhil. Dua, kangen suara duaarrr yang ngeri ngeri sedap itu. Kalau yang terakhir ini, mungkin anda punya riwayat menjadi mercon player, tentu saja anda sekarang sudah insyaf.
Mercon ini memang kontroversial. Siapapun mengatakan tidak setuju, di larang. Tapi kenyataanya demand nya kok ya banyak. Buktinya, masih ada saja produsen yang tertangkap. Dan bakul mercon banyak juga. Menurut sas sus dari teman yang depan kiosnya ada orang jualan mercon, modal kulakan bakul mercon bisa jutaan sampai puluhan juta. Wuah...ndak main main ini, ini investasi kelas kakap. Sssst...mestinya mereka ini kena pajak. Ning apa ya ada pajak mercon itu. Bisa bisa bakul merconnya mbayar pake mercon. Bisa geger itu kantor pajak.
Banyak berita tentang produsen mercon di pikut polisi, bakul mercon di garuk, mercon player kebledosan. Tapi herannya, tiap tahun kok masih ada saja.
Saya khawatir, kita itu punya problem akut tentang kapok. Maksud saya, harusnya ada semacam penataran p4 untuk semua warga negara, dengan materi tunggal, kapok. Kalau perlu, slogan jaman orba dulu, di populerkan lagi. Memasyarakatkan kapok, dan mengapokkan masyarakat.
Soalnya saya itu ya nggumun bin anyel, masalah berulang terus. Di kasih gaji besar, apa itu namanya rium rium gitu kedengarannya, kok ya masih terima suap tho pak hakim. Ini pokok pangkal masalahnya menurut saya, ya itu, kapok nya hilang.
Atau apa memang kita itu salah pendidikan ya... Pendidikan yang kita terima, tidak mengajarkan kapok. Malah membuat kita semua bandel bandel. Kayak slogannya mesin diesel aja.
Wis, usul saya ya itu. Penataran untuk semua warga negara, biar mengetahui, memahami, menghayati, mengamalkan kapok.
Hasilnya saya perkirakan, lima tahun lagi tidak ada mercon. Korupsi nol persen. Penjara kosong. Nyelonong lampu merah nol persen.
Atau, tampaknya saya harus terbangun dari mimpi dulu...ayuh bangun

Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama

Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama

Hari hari ini kita menyaksikan dua organisasi ummat Islam negeri kita ini bermuktamar. Saya turut berharap, semoga membawa kemanfaatan bagi kedua organisasi kedepan, juga kemanfaatan untuk negeri kita Indonesia.
Saya cuma urun rembug, sebagai rakyat kecil yang punya banyak harapan kepada para ulama dan para aktivis dua organisasi ini.
Pertama, menjembatani perbedaan. Bahwa perbedaan itu selalu ada. Perbedaan banyak sekali solusinya, terutama membangun jembatan. Saling mendekat. Saling mencinta. Dampaknya akan sangat luas di grassroot. Khilafiyah akan jadi indah bila bersanding dengan cinta. Dengan kedekatan hati.
Kedua, kerjasama. Bila perlu saling tukar para ahli. Kepentingan kita semua satu. Mencari ridho Allah. Dan kerjasama ini adalah perintah Allah Taala. Banyak hal bisa di lakukan apabila kerjasama dua organisasi ini terjalin.
Bukan jamannya lagi jargon 'membesarkan organisasi', dan kemudian menutup diri dari potensi luar. Apabila perlu, rangkul potensi potensi berserak diluar organisasi. Fokus pengembangan dan pemberdayaan. Apalagi rakyat Indonesia yang ratusan juta adalah potensi yang tidak pernah habis. Bila perlu kerjasama dengan parpol atau organisasi tanpa nama juga boleh.
Menurut saya istilah ormas, parpol, atau apapun itu, malah kadang menghambat kita ummat Islam, menyatukan potensi. Yang buat istilah ini gek ya siapa tho ya..ya..
Selamat bermuktamar Nahdhotul Ulama Muhammadiyah.