Tertawa

Tertawa

Salah satu karunia unik yang dimiliki manusia, adalah tertawa. Tertawanya manusia ini mengungkapkan berbagai ekspresi.
Bisa jadi ekspresi kita tergelilik karena ada hal yang lucu. Ini yang saya kira paling banyak.
Bisa jadi karena ekspresi rasa senang kita. Binatang punya ekspresi senang. Kucing atau anjing mengekspresikan rasa senangnya dengan ndusel ndusel tuannya. Tapi tetap saja mereka tidak bisa tertawa.
Bisa jadi tertawa itu di tangkap orang sebagai mengece, menghina. Lha ini yang kita semua perlu hati hati.
Tertawa akan jadi masalah kalau salah papan empan. Salah waktu, salah tempat, salah situasi, salah berhadapan dengan siapa.
Ekspresi kita akan selalu di tangkap orang lain, dan mungkin kadang di salah pahami. Termasuk tertawa.
Saya ini cuma usul ke pak presiden kita, mohon dengan hormat pak, kalau tertawa memperhatikan sikon. Karena pak pres ini karakter awalnya memang sumeh.
Matur nuwun. Saya tidak ngece atau menghina. Sekedar usul saja, di terima alhamdulillah, kalau tidak ya sudah.

Merdeka!

Merdeka!

Ini kata hebat yang akan kita dengar hari hari ini, merdeka.. Tangan mengepal, dan teriakkan...merdeka.
Saya yang jadi merenung, apa gunanya merdeka itu bagi bangsa kita?
Mungkin mayoritas kita menjawab, lepas dari penjajahan londo dan jepang.
Ada sebuah pertanyaan, apakah di jajah londo itu buruk? Kita reflek menjawab...iyya tho, jelas, gitu aja kok tanya...
Saya teringat cerita seorang mbah mbah, dulu jaman londo, hidup itu tertib. Kaya sih endak, tapi maling kecu brandal itu ndak ada. Kalaupun ada, gampang di cari, gampang di cekel. Cerita ini jelas perlu di konfirmasi. Tapi saya menangkap, woo...dijajah londo itu tidak rekoso total. Ternyata menurut simbah ini, jaman itu jaman tertib.
Lha sekarang kalo kita sudah merdeka, banyak maling begal rampok pengedar narkoba koruptor, lha apa enaknya merdeka itu?
Tapi saya paham, merdeka itu bukan cuma soal penguasanya londo atau pribumi. Bukan soal banyak kriminal atau ndak.
Merdeka itu adalah, kita menjadi diri sendiri atau tidak.
Merdeka kita absurd, kalau kita sendiri yang berkuasa, tapi cara berfikir, kelakuan, prinsip, aturan, sama dengan londo atau jepang. Kita cuma fisik diri saja yang tidak londo jepang. Keyakinan jiwa pikiran akhlak kita londo jepang. Naudzubillah.
Apa ya betul begitu? Saya kira, ya itulah gunanya kita memperingati hari kemerdekaan. Mengingat lagi. Berkaca lagi. Memperbaiki diri lagi. Menguatkan komitmen diri lagi, untuk menjadi diri sendiri.
Bangsa, negara, adalah kumpulan orang orang. Pribadi pribadi. Termasuk kita. Termasuk saya yang cuma orang cilik menthik, yang berusaha menemukan diri di tengah hingar bingar teriakan...Merdeka...!

Munyuk

Munyuk

Orang Jawa memang kaya bahasa. Sebuah benda, bisa mempunyai bermacam nama. Bisa jadi sedikit berbeda bentuknya, atau bahkan sama, tapi kaya nama. Alat pemotong, pisau besar, namanya bisa arit, bendho, mothik, clurit.
Lha ini sama untuk urusan hewan. Kewan cilik beda nama dengan hewan besar. Kuthuk dan pitik. Belo dan jaran. Gudel dan kebo. Gogor dan macan. Sawiyah dan cecak. Semua sama, hanya berbeda kecil dan besar.
Saya curiga, jenis hewan tertentu mempunyai nama nama yang rasanya berbau 'mingsuh'. Padahal kalau di gagas, mereka ini ndak punya salah apa apa.
Contohnya kera. Boso kromo hewan ini sungguh berwibawa, wanara. Tapi boso rakyat jelatanya terasa mengenaskan. Kethek, monyet, dan lebih mengenaskan lagi, munyuk. Saya ya kurang tau, apakah penamaan ini berkait dengan urusan olok olok.
Yang jelas, mantap betul kok mengolok dengan sebutan di atas.
Saya kira, kita wong Jawa itu kontradiktif. Satu sisi alus betul, dan bisa sebaliknya. Kita menyebut gigi yang bagus sebagai 'miji timun'. Alis yang bagus sebagai 'nanggal sepisan'. Sebaliknya, kita bisa ngunek unekke orang, 'woo...untumu njepat'.
Ellhoh...kejadian yang mengerikan, malah kita gunakan untuk ngunek unekke uwong.
Saya pikir ini pelajaran berharga bagi kita orang Jawa. Kita di ajari melihat sisi sisi diri kita, dari pilihan kosa kata yang kita gunakan. Inilah pesan 'ajining diri ono ing lathi'.
Kita memang perlu melatih diri terus menerus untuk menjadi orang yang 'njawani'. Jangan sampai menjadi wong Jowo sing kelangan Jawane.
Wah...kok jadi mbulet begini...

Mem-Bully

Mem-Bully

Saya kurang tau, membully itu dari kata apa. Apakah bull? Kerbau. Di istilahkan bully karena kerbau itu selalu menunduk. Membully orang agar ia tertunduk. Mungkin malu, atau tertekan, atau ketakutan.
Saya lebih memahami kata mengenyek atau mengece dalam bahasa Jawa. Ngenyek. Ngece.
Ngenyek itu saya merasakan nuansanya cenderung pada mengeksploitasi kelemahan atau kondisi orang lain. Kalau ngece, saya merasa ini kok berkaitan dengan hasil kerja, hasil karya orang.
Bully membully, enyek mengenyek, ece mengece ini tampaknya memang memuaskan. Apalagi kalau kita lagi di atas angin. Apalagi kalau pada dasarnya kita ada kebencian atau tidak suka pada yang kita ece.
Dunia medsos kita kadang membuat kita apabila berkomentar, atau memposting sesuatu, kita tidak berfikir panjang. Tampaknya bagus, menyenangkan, upload saja.
Kadang kita lupa, pertama, diri kita punya ego. Bahasa agamanya al hawaa. Dan kita ya harus ingat, ada setan yang selalu ngipas ngipasi. Membuat sesuatu yang buruk, menjadi seolah baik.
Kedua, kadang kita lupa, enyekan atau ecean kita membuat jarak dengan yang kita enyek, yang kita ece. Dan yang muncul hanya pertengkaran. Padudon. Bagaimana kita mau mengajak orang pada yang baik, apabila sebelumnya kita sudah membuat jarak dan luka hati.
Ada teladan dari Umar ra. Umar ra mengganti Khalid ra dengan Abu Ubaidah ra sebagai panglima kaum muslimin di Syam. Alasan Umar ra, 'saya mengasihani jiwa jiwa manusia karena kecepatan pedang Khalid'. Dalam bahasa kita, agar korban di pihak musuh ndak banyak. Agar mengurangi dendam di hati musuh. Kelak musuh kaum muslimin itu akhirnya sebagian menjadi penghela agama yang menghasung agama Allah Taala di bumi yang lebih luas.
Ini pula teladan para Walisongo, kita ingat sampai saat ini kita sulit menemukan, bahkan tidak ada orang menyembelih sapi di Kudus. Mereka menyembelih kerbau. Karena dulunya Kudus ini konon bernama Tajug. Kota peribadatan Hindu. Dan kita tau, kemudian hari orang orang Kudus adalah penghela agama di banyak tempat.
Kita sudahi saja enyek mengenyek, ece mengece.
Beda kritik dengan membully pertama kali ada di hati kita. Niat dalam hati kita.
Mohon maaf kalau saya pernah membully. Saya salah.

Ngalah


Kata Ngalah ternyata bukan berasal dari kata kalah. Penggunaan awalan Ng pada kata ini bermakna menuju. Lebih jelas lagi, bermakna menuju dan memposisikan diri pada. Pola ini sama seperti kata ngalas, yang bermakna menuju dan memposisikan diri pada alas. Menuju dan memposisikan diri pada hutan. Demikian pula kata ngawang.
Jadi makna ngalah adalah menuju dan memposisikan diri pada Allah.
Ini bisa kita pahami, karena biasanya penggunaan kata ngalah ini, di rangkai dengan pasrah. Pasrah ngalah. Kata ini mungkin dalam gambaran saya, adalah penerjemahan kata bahasa arab Tawakkal.
Mengapa bukan berasal dari kata kalah? Bahasa jawa sebenarnya tidak mengenal kata kalah. Kata kalah ini bahasa melayu, bukan boso Jowo. Kata paling dekat dengan pengertian kalah adalah kawon. Kata dasarnya awon. Buruk. Atau asor, bermakna bawah. Orang asor adalah orang yang berposisi di bawah, sesuatu yang menggambarkan derajat yang rendah.
Jadi, orang jawa sebenarnya tidak mengenal kalah. Karena kalah itu buruk dan rendah.
Pun orang Jawa tidak suka mengalahkan orang lain. Ada kata indah, menang tanpa ngasorake. Menang tapi tidak membuat orang lain jadi rendah.
Saya jadi bertanya tanya, kita ini siapa yang mengajarkan menang kalah? Kita bertanding, dan kalau menang jumawa, kalau kalah nangis atau ngamuk.
Orang yang suka ngasorake di sebut adigang adigung adiguna. Itu sifat yang sangat buruk bagi orang jawa.
Terima kasih pada cak Nun dan kang Agus yang memberi pemahaman literasi Jawa. Yang kita banyak terlupa. Nuwun.

BPJS

BPJS

Hari hari ini banyak diskusi tentang BPJS. BPJS jadi trending topic netizen. Bahkan kalau ngetik di google BPJS, segera muncul BPJS haram dll. Nah lho...
Terlepas dari pro kontra kajian para ulama di MUI, saya lihat ada hal positif.
Pertama, konsideran syariat dalam pengambilan keputusan. Kebijakan publik yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Bahwa mayoritas rakyat beragama Islam, itu realitas. Bahwa mayoritas rakyat membutuhkan melaksanakan kewajiban syariat agamanya, juga adalah realitas. Sehingga, kebijakan publikpun, perlu memperhatikan aspek syariat ini.
Kedua, bahwa pelaksanaan aspek aspek syariat akan membutuhkan banyak ahli. Kaum ekspert. Ini berita baik. Ahli ekonomi syariah, asuransi syariah, dan mungkin banyak hal lagi kedepan yang kita butuhkan.
Saatnya ummat Islam berkontribusi.
Saya pikir ini PR yang bagus bagi para pengambil kebijakan publik, para konsultan, CEO BPJS, dan lain lain. Bila selama ini hanya copy paste dengan penambahan varian sistem asuransi publik, dari negara barat. Sekarang harus di tambah lagi. Aspek syariat.
Saya pikir kita perlu menyambut baik diskusi diskusi ini. Ndak usah ikut mumet. Biar para ahlinya saja yang mumet.

Anyel Pada Media

Kadang kita itu anyel sama media. Kadang marah marah juga. Misalnya, kita kadang merasa tak adil, ada kasus yang di ekspos terus terusan. Di saat yang sama, ada kasus serupa liputannya minim. Sampai kita merasa, ini media pemberitaan atau media pencitraan tho?
Kadang kita sampai punya julukan pada media yang kita anyeli. Misalnya metromini, atau julukan lain yang saya wegah untuk mengingat.
Kalau saya? Ya sama. Kadang saya anyel, ada kasus yang menurut saya tidak menyangkut hajat hidup bangsa, di ekspos dan di eksplor habis, seolah ini sangat penting bagi orang se Indonesia. Beritanya ben byar, rina wengi. Besoknya ada kasus lain, ellhoh...lha kok berita yang kemarin itu lenyap. Ini sak penake dewe.
Tapi saya gagas gagas, yang salah itu ya saya sendiri. Lha wong sekarang itu media adalah industri. Jualannya ya berita, infotainmen, sinetron, audisi dll. Tentu saja mereka berusaha mengemas yang di jual dengan cara yang menarik. Mengerahkan semua ilmu produksi dan pemasaran, agar jualannya laku.
Ada satu acara yang dulu itu membuat heboh kita semua, karena ada joget massalnya. Sampai jam sahur pun di pakai joget. Kemudian acara ini di stop KPI. Saya semula mengira, penggemar acara ini pada protes dan mendemo KPI. Ternyata tidak. Biasa saja. Mereka ganti nonton acara lain. Woo...mereka ini memang paham betul, media adalah industri.
Usul saya, kalau begitu, kita hadapi saja media itu sesuai hukum pasar. Tidak bakal ada supply kalau tidak ada demand. Para manajer tivi itu punya idiom, hidup matinya pekerjaan mereka ada di remote tivi para pemirsa. Ganti channel, habislah pekerjaan. Demikian pula media cetak, hidup matinya tergantung kita beli koran atau tidak.
Susah memang. Tapi sekarang ya ada saja fenomena menarik. Media besar, biasa di sebut media mainstream ikut heboh karena pemberitaan viral medsos. Contohnya kasus hoax pembalut wanita kemarin.
Jadi, media media itu kita hadapi biasa sajalah. Ya memang betul, kalau bengkok harus di luruskan.

Belajar Dari Janur

Belajar Dari Janur

Tulisan ini sekedar lintasan pikiran saya ketika ingat banyak ketupat, di Bakdan Kupat kemarin.
Di sebut Janur karena jene manggone ono ing nduwur. Jene artinya kuning, warna alami janur.
Janur di struktur bangunan pohon kelapa, terletak paling atas dalam satu satuan, dan selalu menghadap ke atas. Pelajarannya, puncak dari segalanya adalah Tauhid. Laa ilaha illallah. Biasanya kita membayangkan Allah Taala, Tuhan semua manusia, ada di atas. Dalam urusan ubudiyah ini, kita semua menjadi satu satuan. Orang orang beriman itu bersaudara.
Untuk mendapatkan janur, kita harus bersusah payah. Memanjat pokok kelapa, melewati rangkaian dahan kelapa, dan kadang ada banyak serangga menghadang. Demikianlah urusan Tauhid, urusan Iman. Iman tidak di dapat ujug ujug. Butuh upaya. Bahkan kadang upaya kita mendapat banyak halangan. Hanya orang orang yang punya keyakinan dan tekad kuat yang memperoleh janur. Memperoleh iman yang lurus.
Untuk menjadi sesuatu yang fungsional, sesuatu yang bermanfaat, janur harus di rangkai oleh tangan tangan terampil, menjadi kupat. Pelajarannya, iman dalam diri kita harusnya menjadi sesuatu yang fungsional, aplikatif, dan bermanfaat. Untuk menjadi bermanfaat ini, kita semua perlu saling menjalin tangan, bahu membahu, membentuk jalinan. Dalam bahasa al Quran ini di sebut 'ba'dhuhum auliyaa u ba'dh' QS 9:71. Untuk membentuk jalinan ini, kita semua butuh pengetahuan dan ketrampilan. Agama menjadi hidup di tengah masyarakat karena saling belajar, saling berbagi, saling bahu membahu. Anda baru bisa membuat ketupat apabila belajar langsung dari yang sudah bisa, dan harus mempraktekkan. Itulah agama, agama bukan angan angan. Agama adalah praktek nyata.
Kupat harus di isi. Demikianlah agama dan diri kita. Kupat yang nikmat, yang membuat nyaman adalah kupat yang berisi dan cukup matang. Dan semua orang akan senang. Semua di mulai dari berisi dan matang.
Dan sepotong kupat yang terhidang adalah sebuah pelajaran panjang.

Adaptasi


Saya kira pengertian adaptasi ini cukup jelas, walaupun bahasa serapan, pemakaiannya sudah sangat umum.
Kita manusia, mempunyai kemampuan adaptasi sangat baik. Bagi yang pns pemkot, barangkali pertama dua tiga kali memakai pakaian adat risih, lama lama nyaman juga. Inilah adaptasi.
Dulu beli bakso 10.000 glindingannya besar besar. Puas rasanya kita beli, kita menyebut cucuk sama harganya. Berhubung harga daging naik, harga jual baksonya tidak naik, maka ukuran glindingan berkurang. Kita walaupun merasa kurang nyaman, kita tetep beli dan menikmati bakso. Itulah adaptasi.
Saya khawatir urusan adaptasi ini meliputi diri kita semua, hari ini dan besok.
Harga harga makin mahal, dollar terus merangkak naik, kualitas hidup kita menurun, bla bla bla. Karena proses adaptasi, pertama dua tiga kali kita tak merasa nyaman. Selanjutnya kita beradaptasi. Paling kata sakti ini yang keluar, ' ya sudahlah, meh piye maneh...'
Betul memang, dengan adaptasi kita bisa bertahan. Dengan adaptasi kita bisa menjaga eksistensi hidup kita.
Tapi tidak berarti kita menyerah. Ketika kabut asap pembakaran hutan meliputi kota anda, anda mungkin bisa beradaptasi. Tapi kebakaran hutan tetap saja harus di hentikan.
Usul saya, kita tetap beradaptasi, karena memang kita tangguh di sana. Tapi anomali tetap harus di koreksi.
Sopo sing salah, kudu seleh. Begitu kata bijak orang Jawa, untuk mengoreksi anomali.
Mungkin banyak kata bijak lain. Dan menurut saya, jangan terlalu percaya kita mampu terus menerus beradaptasi. Suatu saat mbledos juga.
Saat itulah krisis menerpa kita semua.
Mohon maaf bila tulisan saya agak sulit di pahami. Ini bahasa implisit.

Karubaga Tolikara (2)

Karubaga Tolikara (2)

Saya mencoba mencari di peta google Karubaga. Memang muncul kata Karubaga Papua, tapi daerah di peta yang di tunjukkan, namanya nihil. Daerah terdekat yang bernama adalah Tiom. Ini ya daerah apalagi...
Karubaga Tolikara kemudian saya cari di kamus wiki, informasi agak jelas, bahkan ada satu dua foto kota Karubaga.
Sekilas, kabupaten ini memang elok betul. Jauh di pedalaman Papua. Terselip di antara jajaran pegunungan. Tidak ada akses darat menuju kota ini. Akses terdekat adalah transportasi udara, 20 menit dari Wamena. Kalau nama Wamena ini, agak akrab di telinga saya. Foto tentang Karubaga dari jauh lebih elok lagi, kota ini seakan berdiri di tepian tepian tebing.
Membayangkan Karubaga Tolikara, saya jadi respek ke saudara saudara kaum muslimin di sana. Ini kota doh lor doh kidul, adoh ratu cedhak watu. Saya ya jadi membatin, yang pertama kali punya ide datang ke kota ini, jelas superhero kelas wahid. Bangsanya supermen betmen minggir dah...
Saya juga mencoba memahami proses adigang adigung adiguno nya sekelompok orang di sana, yang membawa semangat intoleran. Yang rumangsanya semua harus manut mau nya. Yang merasa dengan membuat sebuah organisasi agama, mereka berkuasa mengijinkan dan menolak kegiatan keagamaan orang lain. Kalau di Jawa kita bisa bilang, ' ellhoh, opo iki negarane mbahmu po? ' Tapi saya ya sadar, Karubaga Tolikara ini bukan jawa. Yang bahkan seorang yang sinis pun kewalik walik menyebutkan, Torikala...
Dan saya merasa gagal paham.

Papua

Papua

Hampir semua kita membayangkan Papua itu identik dengan wilayah sangat luas, belantara bergunung gunung, dengan penduduk berciri fisik khas, berbaju khas, dan arsitektur rumahnya pun khas.
Tidak salah memang, tapi sebenarnya itu cuma potret sebagian saja.
Saya punya tetangga yang kelahiran Papua. Ciri fisiknya tidak berbeda sama sekali dengan orang Jawa. Baru kelihatan 'Papua' nya kalau sudah bertemu dengan anggota keluarganya, mereka berbicara dengan logat 'kemrutug'. Logatnya unik sekali. Sangat Papua.
Walaupun tidak berambut keriting, tidak beragama kristen, tapi apabila berbicara tentang kecintaan dan kerinduan kepada Papua, sangat jelas bahwa mereka adalah 'Orang Papua'.
Saya pernah menanyakan kepada teman seperti tetangga saya ini, apakah mereka punya cita cita tinggal di tanah Jawa? Jawaban mereka tegas, tidak. Bagi mereka, tanah air sekarang dan ke depan adalah Papua.
Mereka ini adalah realitas Papua sekarang. Walaupun barangkali mereka berciri fisik seperti orang Jawa, orang Bugis, orang Madura, atau yang lain, tetap saja mereka adalah orang Papua. Mereka tidak mau di katakan sebagai orang Jawa, Bugis, Madura atau yang lainnya. Darah mereka adalah darah Papua. Jiwa mereka adalah jiwa Papua.
Jadi, kalau ada pihak pihak mengira bahwa Papua adalah identik dengan rambut keriting dan kristen, saya kira kok salah besar. Sekali lagi, salah besar.
Papua adalah keragaman. Papua adalah miniatur Indonesia. Sekarang dan yang akan datang.

Kethek Menek


Masih ingat lembar legendaris ini? Dulu di nyanyikan para diva di bis akap dengan kode 'kethek menek'.
Dulu lembar ini cukup berharga untuk pitrah dan 'bunga bunga rupiah' bagi mas pengamen di bis.
Lembar hijau ini sekarang tinggal cerita, seperti halnya tinggal ceritanya 'nilai' lima ratus rupiah. Lagu kethek menek mungkin sudah tidak pernah lagi mengalun.
Pongo Pygmaeus? Semoga nasibmu tidak tertelan jaman kawan... Seperti lembar gambarmu yang hanya tinggal sisa sisa, atau hanya menjadi koleksi kebun binatang dan penangkaran.

Pitrah

Pitrah

Kata ini tak berÄ·ait dengan zakat. Pun tak berkait dengan kegagalan saya mengeja huruf F. Kata ini populer di Solo dan sekitarnya, terutama di hari raya.
Kata ini identik dengan bagi bagi uang di hari raya, terutama untuk anak anak. Pun orang dewasa kadang meminta, meskipun sekedar kelakar belaka.
Kita ingat masa kecil kita, momen teristimewa adalah berziarah ke tetangga, dan mendapat pitrah sekeping dua. Di zaman itu keping rupiah masih sangat berharga.
Di zaman kini pun tak jauh beda. Betapa si anak berwajah cerah mendapat lembar biru, merah, atau jingga. Ya, saat sekarang, keping rupiah tak lagi berharga.
Tapi ada yang luput dari perhatian kita. Kita tak cukup memberi bekal ilmu si anak, tentang uang di tangan mereka. Hanya tau merah lebih berharga. Tak tahu setelah itu mau kemana.
Yang terjadi kemudian, kita hanya mewariskan hura hura. Mercon kembang api mainan cina menjadi keseharian mereka.
Begitulah kita hari ini, menanamkan silau harta tanpa tau kegunaan manfaat utama.
Ini tulisan sekedar prosa liris berakhir huruf A. Tak apalah di baca sekedar saja.

Marketing Asongan

Marketing Asongan

Anda semua sudah langsung nyaut dengan istilah ini, dan teringat kosa kata...akua..akua..mison..mison...atau masih anget...masih anget...atau kalau di jawa barat...tarahuk...tarahuk...
Saya yakin pengasong dengan model marketingnya ini hanya ada di Indonesia kita. Kalau anda lihat, cara mereka memasarkan, semua hampir mirip. Dan saya kira, model mereka ini adalah model pemasaran paling agresif dari sekian banyak model pemasaran. Saya curiga, jangan jangan mereka ini sebelum menjadi pengasong kuliah dulu, minimal d 1, yang stadium general nya di buka guru besar marketing mereka. Minimal setara dengan guru besar mark plus itu.
Saya menyimpulkan ini, karena minimal kita melihat ciri mereka :
Pertama, teori spesifikasi. Ada pengasong khusus cangkokmen, akua mison, apel. Bahkan makanan yang di Prancis sana di sebut escargot, di jajakan di sekitar kediri, namanya nol dua. Sekedar tau, nol dua itu kode judi nomer buntut untuk hewan bernama bekicot. Ini asongan memang kaya budaya, sampai judi nomer buntut pun menjadi referensi marketing. Apa ya ndak elok itu.
Kedua, teori nilai seni. Kita patut acung jempol dengan kreatifitas mereka menemukan kosa kata. Kosa kata yang di balut dengan nada dan ritmis kata. Yak...yang manis...yang manis. Yak...yang haus...yang haus. Model ritmis ini ternyata juga menjadi model pemasaran jitu untuk banyak produk, misalnya rosok...rosok. Atau sayang anak...sayang anak... Inspirasi asongan memang mendunia.
Ketiga, teori agresifitas. Semua orang di bis mereka pastikan tau jelas produk mereka. Butuh tidak butuh, pokoknya harus tau dulu. Yang tidurpun kalau perlu di gugah dengan suara nyaring di samping telinga. Tidak cukup itu, barang yang mereka asongkan di tonyolkan di depan mata kita. Elok betul mereka ini. Belajar teori audio visual darimana ini?
Apakah ya betul mereka pengasong berteori teori kayak saya? Ya jelas endak. Wong mereka itu jadi pengasong ya karena kepepet. Kuliah? Ya semakin tidak.
Salam asongan.

Bumel

Bumel

Saya kurang tau, mengapa bus kelas ekonomi itu kok di sebut bumel. Apakah bus ekonomi lemah? Entahlah. Yang jelas pada masa hari raya, para penumpang di untel untel. Yang berdiri di depan diminta mundur, yang di belakang diminta maju. Ayo maju mas, sih longgar kui lho...sambil terus teriak ke calon penumpang, ayuh munggah, ra ono bis... Wah nek iki ngapusi pak...
Anda yang belum pernah naik bus bumel, saya rekomendasikan sekali kali merasakan. Terutama anda para pejabat. Blusukan naik bus bumel.
Banyak kejadian unik, cermin rakyat kita. Ada ibu ibu yang bawa dua tiga anak, sambil optimis ada yang mengalah orang lain rela berdiri. Ada yang marah marah. Ada yang ndak jelas, pak kondektur menaikkan penumpang sampe uyel uyelan ini karena faktor mesakke para calon penumpang yang kleleran, atau karena ini kesempatan ambil untung.
Bumel oh bumel, di rindukan tapi ya di maki maki. Kalau berjalan lambat hati hati, di grundeli 'iki bis opo keong...' kalau cepat di grundeli juga 'aku sih duwe anak bojo pak sop...'.
Apa kita semua itu ya memang begitu ya...suka mengrundel.
Dan memang kita sering serba salah, begini di komentari, begitu juga di komentari, diampun juga di komentari.
Pak sopir memang hebat betul, para penumpang mau ngrundel, tetep jalan terus. Coba kalau mutung, bisnya di tinggal. Apa ya para penumpangnya ndak mumet.
Ini jelas pelajaran berharga.
Selamat pulang kampung, dan menikmati indahnyà bus bumel.

Karubaga Tolikara

Karubaga Tolikara

Saya mengernyitkan dahi dua kali. Pertama, tak habis pikir, kok ya ada orang yang kepikiran merusak suasana khusyuk sholat ied, sambil berharap puasanya di terima Allah Taala. Kedua, ini daerah Papua sebelah mana lagi. Tapi saya tahu, saya ini memang awam soal geografi Papua, yang luasnya berlipat lipat pulau Jawa.
Membaca berita Tolikara, setiap orang pasti punya kesimpulan dan bayangan beragam. Simplifikasi simplifikasi sangat mungkin dan mudah terjadi, mudah.
Agar bayangan dan simplifikasi tidak berkepanjangan, aparat pemerintah harus bertindak cepat.
Satu lagi, kita tidak usah takut dengan Sara. Kalau memang itu kenyataanya, ya sudah tho. Kita selesaikan bersama. Kita itu sudah ribuan tahun hidup dalam keanekaragaman.
Kita tak perlu menghindari persoalan dengan menutup mata. Ada bahaya di depan kita, langkah paling mudah adalah menutup mata. Tapi itu kan tidak menyelesaikan persoalan, malah membuat kita celaka.
Selamat bekerja pak bu pemerintah. Tidak ada hari libur untuk kasus semacam Tolikara.

Mercon

Mercon

Mendengar kata ini, mungkin sikap para pembaca terbagi dua. Satu, langsung anyel karena terbayang suara berisik bin bikin njondhil. Dua, kangen suara duaarrr yang ngeri ngeri sedap itu. Kalau yang terakhir ini, mungkin anda punya riwayat menjadi mercon player, tentu saja anda sekarang sudah insyaf.
Mercon ini memang kontroversial. Siapapun mengatakan tidak setuju, di larang. Tapi kenyataanya demand nya kok ya banyak. Buktinya, masih ada saja produsen yang tertangkap. Dan bakul mercon banyak juga. Menurut sas sus dari teman yang depan kiosnya ada orang jualan mercon, modal kulakan bakul mercon bisa jutaan sampai puluhan juta. Wuah...ndak main main ini, ini investasi kelas kakap. Sssst...mestinya mereka ini kena pajak. Ning apa ya ada pajak mercon itu. Bisa bisa bakul merconnya mbayar pake mercon. Bisa geger itu kantor pajak.
Banyak berita tentang produsen mercon di pikut polisi, bakul mercon di garuk, mercon player kebledosan. Tapi herannya, tiap tahun kok masih ada saja.
Saya khawatir, kita itu punya problem akut tentang kapok. Maksud saya, harusnya ada semacam penataran p4 untuk semua warga negara, dengan materi tunggal, kapok. Kalau perlu, slogan jaman orba dulu, di populerkan lagi. Memasyarakatkan kapok, dan mengapokkan masyarakat.
Soalnya saya itu ya nggumun bin anyel, masalah berulang terus. Di kasih gaji besar, apa itu namanya rium rium gitu kedengarannya, kok ya masih terima suap tho pak hakim. Ini pokok pangkal masalahnya menurut saya, ya itu, kapok nya hilang.
Atau apa memang kita itu salah pendidikan ya... Pendidikan yang kita terima, tidak mengajarkan kapok. Malah membuat kita semua bandel bandel. Kayak slogannya mesin diesel aja.
Wis, usul saya ya itu. Penataran untuk semua warga negara, biar mengetahui, memahami, menghayati, mengamalkan kapok.
Hasilnya saya perkirakan, lima tahun lagi tidak ada mercon. Korupsi nol persen. Penjara kosong. Nyelonong lampu merah nol persen.
Atau, tampaknya saya harus terbangun dari mimpi dulu...ayuh bangun

Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama

Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama

Hari hari ini kita menyaksikan dua organisasi ummat Islam negeri kita ini bermuktamar. Saya turut berharap, semoga membawa kemanfaatan bagi kedua organisasi kedepan, juga kemanfaatan untuk negeri kita Indonesia.
Saya cuma urun rembug, sebagai rakyat kecil yang punya banyak harapan kepada para ulama dan para aktivis dua organisasi ini.
Pertama, menjembatani perbedaan. Bahwa perbedaan itu selalu ada. Perbedaan banyak sekali solusinya, terutama membangun jembatan. Saling mendekat. Saling mencinta. Dampaknya akan sangat luas di grassroot. Khilafiyah akan jadi indah bila bersanding dengan cinta. Dengan kedekatan hati.
Kedua, kerjasama. Bila perlu saling tukar para ahli. Kepentingan kita semua satu. Mencari ridho Allah. Dan kerjasama ini adalah perintah Allah Taala. Banyak hal bisa di lakukan apabila kerjasama dua organisasi ini terjalin.
Bukan jamannya lagi jargon 'membesarkan organisasi', dan kemudian menutup diri dari potensi luar. Apabila perlu, rangkul potensi potensi berserak diluar organisasi. Fokus pengembangan dan pemberdayaan. Apalagi rakyat Indonesia yang ratusan juta adalah potensi yang tidak pernah habis. Bila perlu kerjasama dengan parpol atau organisasi tanpa nama juga boleh.
Menurut saya istilah ormas, parpol, atau apapun itu, malah kadang menghambat kita ummat Islam, menyatukan potensi. Yang buat istilah ini gek ya siapa tho ya..ya..
Selamat bermuktamar Nahdhotul Ulama Muhammadiyah.

Bakdhan Kupat

Bakdhan Kupat

Hari ini di banyak tempat, terutama di daerah dengan kultur Jawa, ada Hari Raya Ketupat. Konon Bakdan Kupat ini sarat filosofi dan nilai nilai. Mengapa daun kelapa di sebut janur, mengapa kok di pake untuk ketupat, mengapa kok di sebut kupat, mengapa kupat kok di anter ke tetangga. Dan sekian banyak lagi filosofi dan nilai nilai dari Bakdan Kupat.
Adaa hal yang perlu kita cermati bersama. Bakdan kupat ini waktunya mesti seminggu atau sepekan setelah bakdan iedul fitri. Kemarin Iedul Fitri hari jumat, dan bakdan kupat sekarang, juga hari jumat.
Tampaknya ada pesan penting. Kita secara halus di minta untuk poso syawal.
Hadits dari Muslim, Rasulullah saw, 'man shama ramdhana tsumma ittaba'ahu sittan min syawwalan, ka annamaa shiyamu ad dahri'. 'Barangsiapa berpuasa ramadhan, kemudian di ikuti puasa 6 hari di bulan syawal, seperti halnya berpuasa setahun penuh'.
Hikmahnya, seolah kita diminta menjaga konsistensi ibadah kita di bulan ramadhan. Agar semangat ibadah di bulan ramadhan, tidak menguap begitu saja.
Setelah puasa 6 hari, kemudian ada bakdan lagi.
Tapi ya itu, kita sekarang ini mungkin kurang peka pada pesan pesan implisit. Pokoke bakdan kupat itu, ya makan kupat. Puasanya? Lha ya itu...
Itu sama ceritanya dengan kupat. Kupat konon berasal dari kata kulo lepat, saya bersalah. Dan kupatpun di antar ke para tetangga, sebagai ungkapan pengakuan kesalahan, dan permohonan maaf. Jaman telah berubah. Kupat mahal. Akhirnya ya beli sendiri, dan di makan sendiri.
Jangan jangan, Bakdan Kupat telah beralih fungsi. Hanya menjadi festival kuliner belaka. Karena kita memang sulit menangkap bahasa bahasa implisit.
Ahh...kita sekarang memang kaum verbalis, kabeh kudu di cethakke. Cetho tho...

Demokrasi Vs Kapitalisme


Judul tulisan saya mungkin aneh, karena biasanya demokrasi itu berkawan dengan kapitalisme. Menurut saya, lebih tepatnya hubungan simbiosis mutualisma.
Hari hari ini kita di suguhi berita tentang Greek Default. Yunani Bangkrut. Yunani gagal bayar utang pada Troika. Yunani adalah negara maju pertama yang gagal membayar utangnya. Yunani terancam di depak dari zonaisasi euro. Dan berbagai analisis tentang bangkrutnya Yunani.
Yang membuat saya tertarik itu sederhana. Kapitalisme itu mempunyai logika. Logika ini seolah menjadi kebenaran umum yang tak bisa di tolak. Misalnya tentang pentingnya bank dengan mekanisme bunga nya. Saking pentingnya urusan ini, naik turunnya bunga dari Federal Reserve atau apa itu namanya, bank sentral amerika bisa membuat kebat kebit menteri keuangan negara berkembang, semacam negeri kita, karena mempengaruhi lalu lintas keuangan negara.
Termasuk pula logika tentang pengetatan ini itu, sebagai persyaratan mendapat pinjaman. Kita pernah mengalami kejadian ini, ketika pak Harto menandatangani LOI dengan imf. Kita di suruh menjuali bumn bumn, karena dalam logika kapitalisme, negara tidak boleh campur tangan mekanisme pasar, apalagi menjadi pemain, semacam bumn. Dan terjadilah, bumn bumn dengan kinerja hebat di juali ibu pres.
Lha ini Yunani dapat persyaratan ini itu. Kalau pingin dapet pinjaman, harus begini begitu. Kok ya pemerintahnya unik, ngadakan referendum. Dan rakyat bilang no. Lha ini uniknya. Mereka ini tiap hari hidup di mekanisme ekonomi kapitalisme, sejak cindil abang sudah di cekoki kapitalisme. Dan mereka menolak solusi kapitalisme. Woh...betul betul elok.
Usul saya, kita ikuti saja drama demokrasi vs kapitalisme ini. Kita akan tau, seberapa digdaya nya kapitalisme menghadapi perlawanan dari dalam mereka sendiri.

Belajar dari Pak Soto


Kemarin adalah hari berkesan buat saya, Allah Taala banyak sekali memberikan pelajaran hidup.
Sore kemarin saya di undang buka puasa di salah satu warung soto terkenal di kota Solo. Bukannya warung soto buka pagi? Betul. Kemarin warung sotonya buka hanya khusus untuk buka puasa bersama. Sampai ada pelanggan yang ikut masuk, di kira jualan sore. Mohon maaf bapak, warungnya tidak melayani pembeli.
Alhamdulillah saya sempat jagongan dengan bapak pemilik warung. Pak Soto, begitu sajalah namanya. Saya melihat bapak yang tadi mengira warung sotonya buka, jadi bertanya. 'Kok mboten bikak sonten pak? Pelanggane njenengan kan remen, menawi sonten bikak.' Lha itu pikiran saya, yang sok bisnis oriented. Kayak yak yak o, melihat peluang pasar.
Jawaban Pak Soto mengejutkan saya, 'Mboten mas, dalu kagem ngibadah kemawon...' Mak dieegg...Wah...kena nih.
Pelajaran berharga sodara sodara. Peluang bisnis, uang, keuntungan bukan segalanya. Kita yang baru tahu sedumil tentang bisnis, kadang kita sok. Sok tahu tentang peluang bisnis, perputaran uang, nilai keuntungan bla bla bla. Pak Soto jualan soto mulai dari generasi orang tuanya, entah sudah berapa puluh tahun itu.
Pak Soto implisit mengajarkan agar kita tidak kemaruk. Serakah. Dan itulah problem banyak orang saat ini. Kemaruk bin serakah.
Ah...jangan jangan teori ekonomi kita selama ini salah...teori yang hanya menghasilkan manusia kemaruk. Miskin dimensi spiritual. Jauh dari agama.
Naudzubillah.

Anak Rame di Masjid


Jumatan tadi siang membetot ingatan saya ketika masa kecil dulu.
Jumatan adalah momen yang sangat di tunggu, karena bertemu dengan teman teman di dekat bedug masjid. Bisa di tebak, anak kecil bertemu teman sebayanya berarti adalah gojeg. Dimarahi bapak takmir tiap pekan, ya ndak kapok. Malah kadang ada yang usil, pemukul kentongan atau bedug di sembunyikan. Tentu saja di marahi habis, tapi ya ndak kapok itu.
Lha tadi siang saya jadi senyum sendiri. Anak anak berangkat jumatan, kok ya sangu layangan. Saat para jamaah datang dan rapi mengatur shof, lha kok malah ngulukke layangan. Dan layangan adalah magnet bagi anak lainnya. Bapak takmir marah marah. Dan hasilnya sangat klasik, ndak kapok.
Anak kecil adalah harapan, hiburan, sekaligus dilema. Ketika masjid kita penuh anak anak, optimisme masa depan sangat kuat, hati kita ikut ceria, dan di saat yang sama bisa repot dan marah marah. Anak anak itu bahan gojekannya kok ya ndak habis habis tho ya. Ada saja yang di gojekkan. Sekali kali terdengar, ngueerrr, anak nangis. Dan marah marahlah kita. Respon bapak bapak selalu sama, dari masa ke masa.
Saya itu selalu bertanya di hati, anak anak jan jan nya, bapak mboke pada kemana tho? Maksud saya, yang nangani, marah marah, atau moro tangan menjewer mereka ya biar pak mboke.
Tapi saya tahu juga, anak anak ini adalah generasi pejuang, yang salah satu syarat pentingnya adalah mengeyel. Ini anak bapak atau mboknya ndak ke masjid. Mereka mengeyel ke masjid. Ini inisiatif luar biasa sebenarnya.
Usul saya, jangan jauhkan anak dari masjid. Soal gojegan, betul memang, merepotkan. Tapi ya itulah yang nanti akan mereka ingat, sampai mereka dewasa.
Bapak takmir yang marah marahpun akan selalu mereka ingat. Itu kan memori kita juga, bapak takmir marah marah. Saya cuma khawatir, jangan jangan mereka juga merasa gembira, karena berhasil membuat pak takmir marah marah.
Soalnya, dulupun kita juga begitu.
Selamat beribadah ramadhan.

Maido


Saya merasa belum menemukan bahasa Indonesia yang pas untuk menggantikan kata maido. Mencela? Agak dekatlah dengan kata mencela. Tapi kita yang bahasa ibunya bahasa Jawa, ya tetap merasa tidak sreg. Kalau boleh usul, bahasa Indonesia nya maido, adalah memaido.
Kita ini memang suka berkomentar, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Kadang komen kita itu cepat sekali, semacam reflek tubuh.
Obyek yang kita paido macam macam. Teman sekerja, kinerja teman yunior kita, sampai pada kinerja pemerintah. Bos bos kita yang sekolah, keahlian, dan ketrampilannya sundul langit itu. Lho...ini rak ya memaido juga. Lha itu tadi saya bilang, memaido itu semacam reflek tubuh kita...
Saya kira, agar memaido kita itu tidak merusak, perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, lihat niat di hati kita. Kadang kita itu memaido karena dengki. Lihat orang bekerja, dalam hati kita merasa, sebenarnya hasil kerja dia lebih baik dari saya, cuma masih ada kurang sana sini. Karena rasa anyel, sebenarnya rasa dengki, kita eksploitasi saja kelemahannya. Memaido lah kita.
Kedua, perlu di pikir betul. Dampak memaido ini nanti menghasilkan perbaikan ndak? Kita ndak mungkin sampai pada yang kedua ini, sebelum kita memberesi nomer satu tadi, dengki. Memaido kadang jadi trending topik di dunia netizen, dan berdampak evaluasi kinerja pengelolaan negara. Tapi ya ada saja, memaido kemudian di balas memaido pula sama pendukung yang kita paido. Perang paido akhirnya.
Tampaknya, menurut saya, perlu di sosialisasikan etika maido. Ellhoh...apa iyya tho ya...maido kok pakai etika...
Atau gini saja, kita tanya orang Jepang...saya curiga, istilah maido itu berasal dari bahasa mereka, yang kita adaptasi. Tampaknya kok mirip bahasa Jepang. Haiikkk....

Belajar Dari Batu


Sebagai penggemar batu kelas pemula bin cekeremes, saya itu ya senang kalau melihat koleksi batu permata punya nya teman teman. Kelas saya ya itu, gemar melihat. Syukur syukur kalau di pinjami, atau di hadiahi.
Kapan hari, ada teman yang meminjami saya sebutir batu indah. Namanya king safir. Biru cerah bersinar. Saya ya merasa, wah elok betul ini batu. Ciamik, hebat.
Kata teman yang meminjami, ' bawa saja mas, kalau tertarik silakan di bayar dengan harga sesukanya '. Elok betul lagi ini, harga kok sesukanya. Teori ekonomi mungkin sulit menjelaskan katagori harga jenis ini.
Singkat cerita, king safir itu saya bawa ke teman lain, yang memang pakar batu safir betulan. Setelah di cek, komentarnya mengejutkan. Ini safir imitasi, bukan safir alam. Weh...elok lagi ini...bagusnya kayak begitu, kok ternyata imitasi. Saya jadi dapat pelajaran hidup berharga.
Pertama, penampilan sekilas kadang menipu. Karena kesan gemerlap yang kita lihat, kadang kita menyangka sesuatu itu hebat. Ujian dan waktu yang kemudian akan membuktikan.
Kedua, natural dan imitasi itu jelas berbeda. Proses alam yang keras dan panjang akan berdampak pada kualitas. Sebaliknya, proses instan, walaupun terlihat gemerlap, akan menghasilkan cacat permanen. Cacat ini laten, tersembunyi. Hanya di ketahui oleh ahlinya.
Ketiga, harapan yang terlalu besar, apalagi melibatkan emosi kita, setelah kita tahu semua itu imitasi, hasilnya adalah kecewa dan sakit hati.
Mungkin ini pelajaran hidup yang di berikan Allah Taala lewat sebutir batu indah ciamik berwarna biru. King safir.
Terima kasih kepada teman teman perbatuan. Ternyata banyak pelajaran di sana.

Materai


Ada isu yang beredar tentang rencana pengenaan bea materai pada pembelian barang di atas 300 ribu.
Ya baik sih, bagi pemerintah, itung itung menambah pemasukan. Wong target penerimaan pajak sama lik pres di tambah, sementara obyek pajak nya ya itu itu saja.
Tapi, mohon saya di ijinkan urun rembug, karena saya melihat ada kontradiksi kontradiksi.
Pertama, pemerintah berulangkali bilang, misalnya lik yusuf kalla, yang berencana menghapus subsidi listrik. Alasannya, subsidi ke barang harus di alihkan menjadi subsidi ke orang, agar lebih tepat sasaran dengan kartu sakti. Lho, kalau urusan subsidi ndak boleh ke barang, lha ini pungutan pajak kok malah ke barang ? Menurut saya, logika lurusnya, kalau subsidi nya ke orang, berarti pungutan pajaknya ya harus ke orang.
Kedua, kita ini di tarik pajak untuk orang yang sama, berkali kali. Terima gaji, kena pajak penghasilan. Beli ponsel, kena pajak. Dan akan di tambah lagi dengan bea materai. Kena pajak tiga kali dah...
Apa ya harus begitu tho pak pemerintah ? Lha mungkin teman teman yang kenyang ilmu perpajakan bisa ngasih pencerahan ke saya, yang nol puthul perkara ilmu perpajakan.

Adidaya


Beberapa waktu lalu amerika serikat heboh karena keputusan mahkamah agungnya yang melegalisasi pernikahan sejenis. Peristiwa hukum ini sebenarnya hal biasa, karena gaya hidup yang kemudian populer dengan istilah lgbt, sudah lama hidup di negara itu. artinya, legalisasi ini sebeñarnya cuma stempel. Pengakuan negara. Atau dengan kata lain, apabila ndak ada stempel ini, mereka ya jalan terus...egp...gitu kata mereka barangkali.
Cuma, mau tidak mau, peristiwa ini seolah menjadi energi baru bagi pendukung lgbt. Dalam bahasa kita, mereka merasa dapat angin.
Saya cuma penasaran, ingin tahu respon kita kita, negeri yang berbeda budaya, cara pandang persoalan, mengekspresikan kebebasan dll. Dugaan saya sementara ini, kita nanti mesti ikut heboh. Tampaknya betul juga. Kita ikut heboh. Saya kira, ini bukan semata persoalan lgbt yang menyentak pondasi keyakinan dan budaya kita. Tapi juga karena persoalan yang muncul ini, berada puncak etalase dunia. Kita yang samasekali tak berhubungan dengan sistem tata hukum amerika, jadi mau ndak mau melihat informasi ini. Mungkin bukan hanya terpapar informasi, bisa jadi muncul kehebohan baru.
Saya kira, begitulah sifat adidaya. Ada persoalan apapun, negeri negeri lainnya merasakan dampak. Minimal dampak informasi.
Ngomong ngomong, kapan ya Indonesia jadi negeri adidaya. Sehingga kita yang mempengaruhi, bukan di pengaruhi.
Selamat menunaikan ibadah ramadhan.

Sea Games

Sea Games

Liputannya tak sebanyak dan sehebat mantenan. Yang kita tunggu paling paling ya bal balan tim (pssi) bawah 23, yang alumni (pssi) u-19.
Mohon maaf, pssi nya dalam kurung. Wong ya memang sekarang ndak ada pssi.
Tadi sekilas, kontingen indonesia ada di peringkat 6. Di atas indonesia ada philipin, malaysia, vietnam, thailan, singopuro.
Saya usul, koni nya di bubarkan saja.
Alasannya, ndak punya prestasi internasional.
Gimana pak menpora...njenengan rak ya setuju tho usul saya? Wong alasan pssi di bubarkan, denger denger salah satunya ya itu...

Dongeng

Dongeng

Negeri kita itu kaya dongeng. Ratu Segoro Kidul (sayang sekali segoro lor nya ndak punya ratu...), Roro Jongrang, Tangkuban Prau, dll...panjenengan bisa membuat daftar dongeng sendiri.
Di jaman modern inipun dongeng masih menjadi konsumsi kita sehari hari. Tidak hanya kita orang asia, pun mereka orang eropa atau amerika.
Malah mereka menjejali pikiran kita dengan dongeng mereka. Mereka buat film dan pertunjukan tentang dongeng mereka. Dan kita menjadi penikmat setia, sambil makan kacang atau jagung...kriuk
Tak terasa, dongeng ini ternyata berimbas pada kehidupan kita. Kok bisa?
Kita suka sekali mendengar dongeng tentang raja, pangeran, putri raja dengan berbagai kisahnya. Saya kira hampir semua kita tahu tentang dongeng cinderella (apakah dongeng ini terinspirasi kisah dongeng cindelaras kita itu ya?). Atau putri tidur. Atau dongeng tentang kurcaci.
Jangan jangan hari hari ini kita di grujuk pemberitaan mantenannya putra pak pres, juga karena obsesi dongeng keluarga raja...?

Belajar Dari Njagong

Belajar Dari Njagong

Beberapa hari lalu, pas di undang njagong, saya bertemu dengan shohib yang bos catering acara njagong itu. Asyik jagongan, seorang pejabat lewat, sontak teman saya komen, 'kita perlu dukung lagi bapak ini, orangnya baik dll...'
Saya berusaha menjadi pendengar yang baik, tapi ya ndak tahan, akhirnya komen juga.
'Mas, hidangan njenengan yang mak nyus ini, kan ndak hanya faktor njenengan tho? Njenengan perlu pemasok lombok yang top, perlu tukang masak yang top, dan perlu sinoman yang oke, agar penyajiannya cepat.' 'Kalau salah satu tukang masak salah masukkan bumbu saja, salah salah makanannya malah meracuni sekian ribu undangan...'
Pejabat, kepala daerah, gubernur, presiden...saya pikir persoalannya hampir mirip. Kebijakan untuk rakyat tidak hanya faktor pejabat, kepala daerah, gubernur, atau presiden saja. Penting memang. Tapi jangan lupa, orang di sekitarnya, para think tank nya, partai pendukungnya, organisasi tempat ia besar, ikut berpengaruh besar.
Bos catering itu sangat penting, tapi hidangan mak nyus adalah sebuah proses panjang. Yang tak terlihat oleh banyak orang. Yang tersembunyi dari mata telinga publik, kadang berpengaruh besar dalam pengambilan kebijakan.
Eh...sebentar lagi pilkada serentak lho...para bos katering akan banyak muncul...
Masihkah kita percaya, bos katering adalah segalanya? Jaminan semua urusan rakyat akan beres?
Atau kita ini sukanya memang begitu...?

Belajar Dari Karbon

Belajar Dari Karbon

Dalam tabel Mendeleyev, berkode C. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya Karbon. Dalam dunia administrasi, kata ini dulu di kenal sebagai alat untuk membuat dokumen rangkap. Nota rangkap tiga, kwitansi rangkap dua, beres dengan karbon.
Ada banyak pelajaran dari karbon ini ternyata.
Karbon di alam ada dalam banyak bentuk. Arang, batu bara, berlian, rangka raket, rangka sepeda balap, bahkan sasis moto gp di buat dari karbon.
Ada pelajaran di sana, sama sama karbon, tapi fungsi dan nilainya berbeda. Berlian satu karat mungkin harganya lebih mahal daripada arang satu kuintal. Sama sama rangka karbon, harganya beda jauh antara rangka raket dan rangka moto gp.
Demikian pula kita manusia. Sama sama manusia, kita berbeda fungsi dan nilainya. Kita bisa menjadi arang, atau berlian, atau rangka raket, atau rangka sepeda balap atau rangka moto gp.
Mau menjadi apakah kita?
Karbon membentuk senyawa dengan unsur lain. Dengan oksigen membentuk karbon monoksida, atau bisa karbon dioksida. Dengan hidrogen membentuk bahan bakar fosil seperti bensin, solar, oli, atau avtur untuk mesin jet.
Ada pelajaran di sana. Sama sama manusia, fungsi dan nilai kita bergantung dengan siapa kita berteman atau berpasangan. Karbon berteman dengan hidrogen, dan menjadi sumber energi bermanfaat bagi manusia. Tapi berteman dengan oksigen, menjadi racun pembunuh. Karbon monoksida.
Siapakah teman teman kita? Menjadi manfaat atau racun?
Selamat belajar.

Belajar Itu Susah

Belajar Itu Susah

Tiga kata ini seolah tertanam di diri kita sejak kita duduk di bangku sekolah. Kata ini pula yang membuat kita ingin lari, bila di sebut kata belajar. Karena belajar, kita para manusia mempunyai kelebihan. Sebaliknya, ini pula kelemahan kita. Tanpa belajar kita bukan apa apa.
Kita sebenarnya kalah sama kucing dan sebangsanya. Panjenengan yang punya kucing, memelihara sejak kecil, tanpa indukan akan tahu. Kita tak perlu mengajari kucing menangkap tikus. Tak perlu mengajari, apabila jatuh posisi apapun, sampai di tanah kaki dulu yang menjejak.
Tiga kata ini pula yang membuat kita lebih memilih happy happy, yang ringan renyah. Acara tivipun akhirnya mayoritas berisi hal hal ringan, malah cenderung tingkah polah ndak jelas para presenter, atas nama hiburan. Pokoknya menghibur.
Saya kira akar persoalannya banyak, barangkali pendapat saya ini di perhatikan para cerdik cendekia, poro punggawa jejeging nagara.
Pertama, kita itu dalam urusan belajar lebih cenderung berorientasi nilai. Ya memang serba salah. Hasil pembelajaran itu butuh tolok ukur, dan tolok ukur itu adalah nilai. Persoalannya, seringkali substansi pembelajaran, nilai moral di balik pelajaran kadang menjadi susah di ingat. Ndak masuk ingatan.
Kedua, kalau para guru kita sudah berupaya keras mengajari kita, apa yang di ajarkan menjadi mudah lupa. Tertumpuk banyak hal. Apalagi tertumpuk hal ndak penting. Tawuran pelajar, tongkrongan, joged dangdut misalnya.
Ketiga, banyak yang kita pelajari tak berhubungan langsung dengan kehidupan keseharian kita. Panjenengan semua mungkin susah mengingat pelajaran cos, sin, tangen ketika sekolah dulu. Wong ya ndak berhubungan dengan urusan kita sehari hari.
Selamat belajar.

Belajar dari Pohon


Keteduhan di iringi gemericik air, di naungi pepohonan rindang, membuat saya jadi merenung.
Tunasnya sebatang pohon adalah harapan.
Kokohnya sebatang pohon adalah perlindungan.
Akar yang membelit bebatuan raksasa adalah keajaiban.
Bahkan jatuhnya dedaunan adalah sebuah investasi masa depan, dia bernama kesuburan.
Dari awal sampai akhir adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan.

Energi

Energi

Persoalan energi adalah persoalan sekarang dan yang akan datang. Artinya, kalau sekarang kita semua tidak memecahkan persoalan ini, kelak di masa datang, akan jadi masalah pelik.
Salah satu solusinya adalah energi nuklir. Saya kira pendapat pakar energi jepang betul, yang terpenting adalah kebijakan pemerintah dan opini publik. Energi nuklir adalah solusi. Tapi ya itu tadi, tergantung kebijakan pemerintah dan opini publik. Opini kita semua.
Saya lihat, ada potensi energi yang selama ini kita tidak manfaatkan optimal. Sinar matahari. Kurang apalagi kita ini. Sinar matahari ada sepanjang tahun. Dan matahari di negeri kita bersinar sangat terik. Kita ya memang memanfaatkan, tapi sebatas meme baju, meme krupuk.
Ayuh pak presiden, pak menristek, para pakar engineer...
Jelas energi matahari ini aman. Aman dan berlimpah. Apalagi yang kita tunggu?

Formaldehida

Formaldehida

Nama senyawa ini mungkin asing di telinga kita. Tapi, apabila di sebut nama formalin, kita semua paham. Fungsi senyawa ini, kita lebih mengenal sebagai bahan untuk mengawetkan mayat. Tapi, sebenarnya, hampir 50% produk formalin ini di gunakan sebagai salah satu bahan pembuat lem permanen untuk industri perkayuan, terutama tripleks.
Karena berfungsi sebagai desinfektan kuat, formalin di gunakan untuk mengawetkan mayat. Membayangkan saja kita ngeri. Tapi lebih mengerikan lagi karena formalin ini di salahgunakan sebagai campuran makanan olahan, agar awet katanya.
Dan kita semua menjadi korban.
Saya tak habis pikir, para penyalahguna formalin ini. Kok ya tega betul. Kok tegel men. Meracuni ribuan orang. Dan lebih tak habis pikir, kasusnya kok terus ada. Kok ya ndak kapok kapok. Kemana saja dikau 'efek jera'?
Saya pikir, formalin di makanan ini bisa jadi bukan hanya kesalahan para produsen penyalah guna. Mungkin juga kita kita, para konsumen ikut bersalah. Kok bisa?
Pertama, mungkin karena kita lebih suka makanan yang kelihatan bagus. Ayu kalau bahasa ibu ibu bakul di pasar. Tidak di rubung laler. Dan tidak mudah basi.
Kedua, kita mungkin kurang menghargai produk olahan para produsen. Kita selalu ingin kualitas kelihatan ciamik, tapi harganya murah. Malah bisa jadi prinsipnya, beracun dikit ndak papa, asal tampilannya bagus dan murah.
Apapun, kita perlu tuntaskan persoalan ini.
Saya pikir negara perlu lebih tegas dalam persoalan ini, sekaligus memberi solusi.
Lebih tegas, artinya efek jera harus betul betul ada. Memberi solusi artinya, memberikan alternatif teknologi tepat guna yang murah, bagi produsen makanan olahan. Kebanyakan usaha makanan rakyat adalah pengusaha kecil, jangankan laboratorium pengawas mutu makanan, bisa berproduksi tip hari saja, sudah bersyukur.
Saya meyakini salah satu kaidah dasar yang menjadi tugas penyelenggara negara, menutup rapat pintu keburukan, dan membuka lebar semua pintu kebaikan, beserta alternatif alternatifnya.

Profil Bambang Sudarsono

Lahir bernama lengkap Bambang Sudarsono, tahun lalu di Sidoarjo. Biasanya akrab dengan panggilan mas Bambang. Menikah dengan Erma Innawati, akrab dengan panggilan mbak Ima, dan dikaruniai satu putra yaitu Usaid Muhammad Fawwaz, biasa di panggil Fafa.

Mas Bambang menempuh pendidikan Diploma 3 Fisioterapi di Universitas Airlangga Surabaya, sempat menempuh pendidikan S-1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang.

Sejak tahun 1996, mas Bambang bekerja sebagai Fisioterapis di Solo, terutama untuk kasus orthopedi (bedah tulang) dan neurologi (saraf).

Sejak bangku sekolah aktif berorganisasi. Menjadi pengurus OSIS SMA, menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Fisioterapi, menjadi pengurus musholla kampus adalah keseharian mas Bambang ketika menempuh jenjang pendidikan.

Aktif di Partai Keadilan Sejahtera sejak awal pendirian Partai Keadilan, cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera. Mas Bambang pernah mengemban amanah di Bidang Politik dan Hukum, pernah di beri amanah Ketua DPC PKS Pasar Kliwon, dan sekarang aktif di Bidang Kaderisasi DPD PKS Solo.

Aktivitas sosial kemasyarakatan adalah bagian keseharian mas Bambang. Menjadi pengurus RT, aktif di kegiatan RW, menjadi takmir masjid, aktif di pengajian, aktif di kegiatan PHBN dan PHBI adalah kesibukan sosial kemasyarakatan mas Bambang.

Prinsip hidup mas Bambang adalah kesederhanaan dan ngrampungi gawe. Selesaikan persoalan dengan cara sederhana, dan berusaha untuk menuntaskan gawe.

Prinsip hidup inilah yang di pegang mas Bambang ketika mendapat amanah menjadi caleg DPRD Kota Solo dari Daerah Pemilihan Pasar Kliwon dan Serengan pada pemilu 2014.

Beringas

Beringas
Kata beringas ini bukan bermakna mempunyai seperti berkumis, atau memakai seperti bersepatu. Saya ya ndak tau, masak ada kata dasar ingas.
Tapi kata ini kita semua paham dari kejadian dan pemberitaan. Mengacu pada tindakan membabi buta, merusak, memukuli tak kenal ampun, yang di lakukan sekelompok orang. Sampai ada kosa kata baru, di massa. Ini berarti di jotosi orang banyak.
Saya kira, beringas ini adalah ujud emosi tak terkontrol masyarakat kita. Yang saya kira perlu kita perhatikan, adalah sebab beringas ini muncul di tengah tengah kita semua. Masyarakat beradab dan berkebudayaan ad luhung, Indonesia tercinta. Ini sekedar pengamatan model amatiran, tanpa penelitian dan studi pustaka, seperti para ahli di tivi atau kementerian itu.
Pertama, ini cermin stres masyarakat kita tinggi. Anyel banget pada para pelaku kejahatan ndak kapok kapok, dan aparat yang berwenang ndak mampu menekan tingkat kejahatan di tengah masyarakat. Tangani sendiri saja. Resiko pikir belakangan.
Kedua, ini cermin ketidak percayaan masyarakat pada sistem hukum dan peradilan kita. Pelaku kriminal di penjara tapi tidak jera. Apalagi beredar berita dan citra kurang sedap para aparat penegak hukum kita. Tangani sendiri saja. Resiko pikir belakangan.
Yang pertama, atau kedua, sama saja. Bahaya. Sekali lagi, bahaya.
Usul saya yang rakyat jelata, dan hanya bisa usul lewat tulisan, mohon perhatian para pemimpin, ilmuwan, dan para pemuka. Poro pinunjuling projo, rojo tamtono soho sarjono.
Atau kita memang ingin begini saja. Asyik tho, bisa merusak memukuli orang sesukanya. Dan budaya adi luhung hanya ada di bibir saja.

Logika

Logika


Terakhir, kita seolah di hadapkan pada logika, cara berfikir, yang kelihatannya masuk akal.
Ini contohnya :
Prostitusi sulit di hilangkan. Mulai dari pinggir jalan, sampai online. Agar tidak menimbulkan resiko aids, harus di atur, di kendalikan, di awasi. Caranya, kumpulkan saja, kasih aturan ketat. Lokalisasi. Tampaknya masuk akal. Lha wong nyatanya selama ini ya begitu, sulit di kendalikan.
Lagi. Miras sulit di hilangkan. Dari dulu memberantas miras ndak pernah berhasil. Malah korban tewas akibat minum oplosan marak di mana mana. Pembatasan miras malah menimbulkan mafia miras. Minimarket di larang jualan bir, di protes pengusaha dan para konsumennya.Di legalkan saja, tapi di atur. Kasih pajak yang tinggi.
Lagi. Bagi bagi uang pas pemilu sungguh sulit di hilangkan. Wong ya rakyatnya ya mau mau saja di kasih uang. Di legalkan saja, tapi di di atur tidak boleh lebih dari 5 ribu.
Mungkin masih banyak lagi yang lain. Logika yang bersliweran di publik. Hal yang tampaknya masuk akal.
Komentar saya, seperti wong jowo yang lagi kepepet. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Logika itu ya boleh boleh saja, setiap orang ya boleh punya pendapat atau usulan. Tapi, apa ya harus seperti itu?
Tampaknya kita perlu berembug lagi untuk mengatur negeri ini. Katanya kita ini bangsa beragama, bangsa beradab. Ada seribu satu cara untuk menyelesaikan persoalan. Tidak segera menyerah pada logika yang 'kelihatannya masuk akal' tadi. Lha di mana aturan agama dan keberadaban kita?
Di sekolahan kita di ajari model pemecahan masalah, mulai dari korelasi, diagram tulang ikan yang apa namanya itu. Berbagai imu sosialpun ada, sosiologi, kriminologi, dan berbagai ilmu yang canggih canggih.
Ayuh, mari jadi wong Indonesia. Kita mulia karena agama, bukan karena logika yang 'kelihatannya masuk akal'.

Nemu


Tak sengaja, kita sering menemukan sesuatu di jalan. Mungkin uang, dompet, pulpen, hanpon, bahkan burung bagus yang lepas dari sangkar. Biasa itu.
Masalahnya, kita kemudian menyangka, kalau nemu, berarti otomatis menjadi milik kita. Saya kira, ini sebabnya karena :
Pertama, kita merasa eman eman. Kalau ndak kita ambil eman eman. Apalagi kalau barang yang kita temukan, ada di tengah jalan raya. Eman eman kalau kepidak kendaraan. Begitu niat kita. Sampai disini, mungkin niat kita masih bagus. Tapi hati hati.
Kedua, rasa ingin memiliki. Karena barang yang kita temukan itu bagus, atau bernilai, kadang terbersit dalam hati kita, kesempatan nih...kapan lagi punya barang gratisan kalau ndak nemu begini... Lha...hati hati kalau sudah begini.
Kita ketika menemukan sesuatu, kadang sulit membayangkan susahnya yang kehilangan barang. Kalau barang itu tak punya nilai, seperti sim, ktp, stnk, ijasah...setan ndak akan ngiming imingi kita. Tapi, kalau barang itu mempunyai nilai jual, atau berharga... wah...itu yang perlu kita hati hati.
Pernah suatu ketika, hanpon saya jatuh. Yang menemukan begitu berbaik hati, menghubungi salah satu nomer telpon di phone book, dan itu nomer hanpon saya yang lain. Sampai sekarang, saya masih mengingat kebaikan bapak ini.
Mungkin ini akhlak sederhana, tapi akhlak mulia adalah kumpulan dari akhlak sederhana pada seseorang, dan di jadikan sebagai kebiasaan, dan jadilah karakter. Akhlak mulia. Kalau sudah begini, bukankah ini karunia yang di berikan Allah Taala pada seseorang.
Dan kita semua bisa, memulai dari yang sederhana.

Keset


Benda ini ada hampir di setiap rumah atau kantor. Bahasa inggrisnya di plesetkan welcome. Fungsinya jelas, untuk membersihkan kaki atau alas kaki, sebelum kita memasuki rumah atau kantor.
Tapi, saya lihat, fungsi keset ini ada perubahan. Menjadi penanda kapan alas kaki harus di lepas. Ini terutama, untuk tempat yang membutuhkan alas kaki harus di lepas. Sederhana, simple, fungsional. Ada keset, berarti alas kaki mohon di lepas, sambil kita keset di situ.
Tapi ternyata ada efek sampingnya. Karena menjadi penanda, di atas keset justru bertumpuk alas kaki. Walhasil, kalau kita akan keset di situ, bukan kaki kita yang akan jadi bersih, malah sebaliknya.
Ternyata urusan 'penyalahgunaan' ini banyak dalam hidup kita. Fungsi sebenarnya a, karena bisa menjadi penanda, menjadi b.
Contoh sederhana adalah adzan shalat. Adzan shalat berkumandang 5 kali sehari. Adzan adalah panggilan shalat, sekaligus penanda masuk waktu shalat shubuh, dhuhur, asar, maghrib, atau isya. Lha kadang kita manusia ya menyalahgunakan, karena bisa menjadi penanda tadi. Adzan subuh penanda jadi waktu bangun, tidak segera shalat atau ke masjid, malah berangkat mancing bersama teman, karena janjiannya subuh berangkat.
Mobil adalah alat transportasi kita. Tapi mobil sekaligus penanda kualitas keuangan seseorang. Jadilah mobil sebagai simbol status sosial kita.
Wah, jangan jangan 'perubahan fungsi' ini banyak. Bisa jadi membuat hidup kita yang simple jadi rumit.

Transportasi Urban

Transportasi Urban

Panjenengan yang rumahnya Solo, kalau lewat jalan jalan yang merupakan akses ke kota Solo, pas menjelang jalan kantor, pasti mumet. Jalan arah selatan, timur, utara, barat, semua karakternya sama. Riyel dan terburu buru. Kalau di tanya, 'lha pripun...selak telat niku...'
Tidak bisa di pungkiri, banyak sekali pekerja di kota kota metropolis atau hampir metropolis, yang bermukim di luar kota. Yang dekat dekat saja. Dan tiap hari di pastikan wira wiri dari rumah ke tempat kerja, di tambah lagi antar anak sekolah, dan sekali kali dolan. Walhasil, pada jam jam tertentu, kebutuhannya sama. Segera sampai ke tempat kerja, atau sekolah.
Saya kira ada beberapa persoalan yang harus kita urai, karena ini jelas realitas, dan menjadi masalah. Masalah sekarang, dan besok.
Pertama, seolah kita tidak punya plan pengembangan kota. Setiap kota pasti akan tumbuh. Dan setiap warga membutuhkan fasilitas penunjang aktivitas. Pangan, sandang, papan jelas kebutuhan primer. Tapi itu tidak cukup. Butuh sarana pendidikan, transportasi, ruang terbuka publik. Perumahan yang tumbuh di sekitar kota, seolah tumbuh tanpa rencana. Sarana transportasi tidak ada rencana untuk mendukung tumbuhnya perumahan di luar kota. Infrastruktur jalan, kuantitasnya sama seperti 20 atau 50 tahun lalu. Tanpa perencanaan.
Kedua, seolah setiap orang di biarkan berkreatifitas menyelesaikan sendiri persoalannya. Karena tranportasi adalah kebutuhan harian, mau tidak mau harus ada alat transportasinya. Yang punya uang lebih beli, beli mobil, yang agak ngepas kredit motor, yang ndak punya apa apa pasrah naik kendaraan umum. Semua berlomba di jalan.
Ketiga, resiko bahaya. Karena pemakai jalan makin banyak, dengan alat transportasi yang di miliki, sementara infrastruktur tak berubah, ada resiko bahaya. Kita bisa bayangkan resiko truk tronton, bis, minibus, sepeda motor bawa bronjong, sepeda onthel melaju di jalan yang sama, pada saat yang sama. Dalam keadaan di kejar waktu lagi.
Kita kadang baru tergugah untuk melakukan perbaikan, ketika jatuh korban. Tahun 2013, jumlah kematian di jalan raya 25.000, kata pak Sutarman Kapolri pada 26/1/2014.
Apa ya mau terus beginikah kita? Bergulat dengan resiko di jalan raya setiap hari.
Saya rasa pemerintah, wakil rakyat, para pakar tata kota, para pakar perencanaan, pakar transportasi, dan lain lain harus duduk bersama. Cari solusi.
Jangan sampai kita menjadi negara tanpa rencana. No...sekali lagi...No...

Prostitusi

Prostitusi

Mohon maaf, saya kali ini menulis hal rodo saru. Kita hari hari ini seolah di hebohkan soal prostitusi, di tambah embel embel media sosial.
Saya kira, sebenarnya soal prostitusi ini soal lama. Bahkan kita mengenal beberapa nama, yang identik dengan daerah prostitusi. Di sebut nama Dolly, langsung kita ingat Surabaya. Di Solo dulu ada nama Silir. Dua nama ini sama fungsinya, lokalisasi prostitusi.
Kemudian hari tempat tempat prostitusi di tutup. Kalaupun masih beroperasi, ilegal. Aparat juga gencar menyisir prostitusi jalanan. Apakah mbak mbak itu pensiun? Saya lihat sebagian iyya. Sebagian tampaknya tidak. Hanya beralih 'lokasi'. Termasuk dunia medsos pun di jadikan ajang prostitusi.
Menurut saya, selama ini kita susah memberantas prostitusi ini, karena :
Pertama, kita selama ini tidak menganggap prostitusi sebagai persoalan kriminal serius. Hukuman pelaku prostitusi paling cuma tipiring, tindak pidana ringan. Efek jeranya hampir hampir nihil. Bandingkan dengan judi. Saya bukan ahli soal hukum pidana, tapi saya pernah bertemu pelaku judi yang di penjara. Katanya kapok betul.
Kedua, selama ini kita hanya mengurusi mbak mbak wts saja. Para lelaki, yang biasa mendapat gelar hidung belang, seolah melenggang. Bahkan dapat fasilitas gratis, maaf...dum duman kondom gratis. Ini menurut saya tidak betul. Ya harus di cari cara, agar para hidung belang ini juga kapok.
Ketiga, kita semua pun. Masyarakat luas, untuk urusan prostitusi ini, menganggap biasa biasa saja, bahkan saya khawatir di anggap hal wajar. Bermacam alasan seolah menjadi stempel pembenar. Padahal ini omong kosong. Misalnya, pelacuran sudah seumur manusia. Omong kosong apalagi ini? Pokoknya ndak mengganggu orang lain. Omong kosong lagi.
Saya pikir, kita semua perlu merubah pandangan soal prostitusi ini. Juga para aparat negara. Prostitusi jangan di lihat sebagai persoalan ringan lagi. Ini kejahatan berat. Dan terutama kita masyarakat luas. Ini saya kira tidak bisa di biarkan. Opini masyarakat kadang terbalik balik. Ada kos kosan dipakai prostitusi terselubung, di biarkan. Begal dipukuli sampai tewas. Ini sama kriminalnya. Satunya melenggang bebas, satunya di hukum dengan cara mengerikan.
Ayuh...kita bisa.

KAA

KAA

Mungkin kebanyakan kita hanya menjadi penonton perhelatan peringatan KAA. Mungkin sebagian kita malah skeptis, buat apa mengeluarkan biaya bermilyar milyar, untuk acara seremoni ini itu, sementara ekonomi negara kita sedang tidak jelas. Masuk akal.
Tapi, saya kira ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan.
1. Sumber daya alam dunia, banyak sekali berasal dari wilayah asia afrika. Kalau tidak kaya sumber daya alam, buat apa negara negara barat mengkolonialisasi negara negara di asia afrika.
2. Penduduk bumi mayoritas ada di asia afrika, walaupun tanpa data, kasat mata kita tau, cina, india, indonesia populasi penduduknya sangat besar.
3. Asia afrika adalah daerah dengan potensi pertumbuhan paling tinggi, kasat mata kita bisa tau dari relokasi besar besaran perusahaan di amerika eropa ke kawasan asia. Sampai ada pemeo, alat apapun merek apapun, adalah buatan cina.
Ironinya.
1. Sumber daya alam yang sangat besar bukan di operatori diri sendiri, kita semua paham perusahaan perusahaan multi nasional yang beroperasi di kawasan asia afrika. Menjadi sebuah pertanyaan, di manakah kedaulatan sumber daya alamnya?
2. Kemiskinan, konflik, keterbelakangan, dan segala persoalan klasik ada di kawasan asia afrika, belum lagi persoalan dunia modern seperti penguasa sewenang wenang, korupsi, narkoba, pendangkalan moralitas, dan seabreg persoalan lain.
3. Persoalan persoalan di kawasan sendiri, tapi pemecahan masalah bergantung pada pihak lain, dan tak ada solusinya. Persoalan Palestina sudah lebih seumur manusia. PBB, Dewan Keamanan memecahkan masalah tanpa solusi. Belum lagi persoalan Suriah, Iraq, persoalan di negara negara afrika, persoalan di Myanmar.
Saya kira apapun, negara negara asia afrika perlu merapatkan diri. Ketergantungan pada negara negara barat harus di kurangi, kalau tidak mungkin di putus. Kalau jaman dulu persoalannya adalah penjajahan, sekarang saya kira masih tidak jauh dari 'penjajahan'. Tentu saja bentuknya lain.
Saya kira ini hanya sebuah harapan dari seorang rakyat kecil. Tapi, saya kira kita berhak menyuarakan pendapat kita.

Ibu Kartini dan Festival Berdandan

Ibu Kartini dan Festival Berdandan

Ibu kita Kartini...putri sejati...
Lagu ini bagi yang pernah bersekolah di sekolah negeri saya kira mesti hapal...bahkan sebagian kita...termasuk saya...hapal notifikasinya...doremifasolmido...lha dulu itu notifikasi lagu paling mudah...
Kita juga selalu ingat...21 april adalah hari kartini
Bu Kartini memang hebat, sampai di peringati semua anak sekolah. Tapi ya itu...saya kok melihat ada simplifikasi...ning salah kaprah.
Kita memang suka simplikasi, tapi ya suka salah kaprah. Misalnya, hari raya idul fitri di simplifikasikan dengan ketupat. Ya memang ndak papa, tapi ya salah kaprah. Puasa ramadhan, di salah kaprahkan dengan mercon dan kembang api, kalau ini parah. Hari bu Kartini, di simplifikasikan dengan kebaya dan pakaian jawa. Salah kaprah lagi.
Menurut saya lho, salah kaprah hari bu Kartini ini berat. Anak anak seolah dipaksa berdandan. Make up ini itu, pakai hiasan ini itu. Lha apa semangat bu Kartini untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik bagi kaum putri, bisa di tangkap dengan berdandan? Tadi di jalan, anak laki laki nya juga berdandan ala jawa. Beskap sogok upil (maaf kasar, emang namanya ya itu), blangkon, nyamping batik, lengkap dengan keris nya.
Lengkaplah sudah, festival berdandannya.
Mohon perhatian bagi para pemegang kebijakan pendidikan nasional, juga bapak ibu guru. Apa ya salah kaprahnya mau kita teruskan?
Atau kita buat satu hari nasional lagi saja, hari salah kaprah nasional...

Iklan Kemen ESDM

Iklan Kemen ESDM
Wah...kemen esdm ndak betul itu... Saya liat iklan layanan masyarakat tentang bahaya colokan listrik di tv. Mungkin maksudnya baik, tujuannya mengingatkan masyarakat, di kemas dengan komedi, bintangnya para komedian. Tapi ini KDRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Walaupun yang jadi korban adalah si bapak, dan bapaknya juga salah. Tetap saja ini KDRT.
Tidak lantas kalau korban KDRT itu perempuan, itu mengenaskan. Sebaliknya kalau korbannya laki laki trus jadi lucu.
Logika salah wahai Kemen ESDM.
Segera saja iklannya di tarik, ganti dengan yang betul.

TKI

TKI
Entah mengapa singkatan ini menjadi memiliki makna khusus. Pembantu rumah tangga di negeri orang, atau buruh perkebunan dan pabrik. Padahal, kalau di tilik, pekerja Indonesia di luar negeri ada berbagai jenis profesi, sebagian malah menjadi tenaga ahli atau insinyur handal di negeri orang.
Ini mungkin berkait dengan nasib para TKI. Ada saja masalah yang muncul, mulai dari hulu sampai hilir. TKI di sekap, di aniaya di negeri orang, di vonis hukuman mati, di apusi di bandara, ini berita yang kadang kita dengar.
Tidak bisa di pungkiri, ini persoalan yang berkelit kelindan dari hulu sampai hilir. Persoalan pendidikan rendah, ketrampilan pas pasan, gegar budaya, terhimpit ekonomi sering di tuding menjadi persoalan dasar TKI.
Masalah memang selalu ada, tapi saya pikir, upaya harus jelas. Menurut saya, persoalannya sebenarnya sederhana. Berantas anomali. Contoh anomali ini misalnya pemalsuan data diri, umur dsb. Mungkin ada banyak anomali, dan saya pikir, pemerintah sebagai regulator urusan TKI ini harus bekerja keras. Hulu sampai hilir harus di luruskan.
Tiap kali kita mendengar berita TKI di vonis, atau di eksekusi hukuman mati, kita heboh. Terus begitu dari dulu.
Apa ya memang harus begitu? Heboh dari waktu ke waktu.

Logika Superhero

Logika Superhero

Yang paling kita suka dari para superhero, sebangsa superman batman spiderman dll, adalah saat saat mereka menangkap penjahat. Tet..teeet... Apalagi di bumbui kejar kejaran, duel, adu senjata. Senang sekali apabila mereka berhasil, keberhasilan mereka serasa keberhasilan kita.

Tak terasa, logika ini hidup dalam keseharian kita. Kita senang sekali melihat kpk menangkap koruptor, polisi menangkap begal, atau satpol pp menangkap wts dan waria di razia malam hari. Apalagi pakai bumbu bumbu. Dar der dor, tangkap tangan, pelaku di ikat, barang bukti, atau waria kecemplung sungai. Padahal sungguh mesakke lho, malam malam lari nyemplung sungai. Keberhasilan mereka serasa keberhasilan kita.

Kita belum pernah melihat superhero mencegah orang agar tidak jadi jahat. Bahkan seandainya para superhero itu bekerja mencegah pengajian dengan membina anak anak kampung, mengajak outbond geng motor, kita akan komentar, 'superhero cap opoo kui..'.

Kita barangkali juga komentar ke aparat kita kalau mereka membina agar tidak korupsi, tidak berbuat kriminal, tidak jadi bencong, 'ra seruu...kpk kok mung ngono..., nek ngono kui aku yo isoh..'. Sudah. Cuthel. Kalau cuma itu, kita sebenarnya hanya menginginkan aksi aksi superhero dalam hidup nyata kita.

Masalah tak akan berhenti, kalau kita tetap menancapkan logika superhero pada diri kita masing masing. Memposisikan diri sebagai penonton dan komentator, yang siap bertepuk tangan sewaktu waktu, apabila penampilan aparat memuaskan kita. Sebaliknya siap memaki dan membully apabila tidak memuaskan kita.

Untuk para aparat, siapapun anda yang punya amanah dan wewenang mengatur negeri, ayo siapkan perencanaan yang baik. Plan yang matang. Atau dengan bahasa njenengan ketika kuliah dulu, komprehensif.

Untuk kita semua warga negeri, mari kita hentikan logika superhero kita. Kita sudah memulai sebenarnya. Kita punya peran di keluarga, lingkungan, bahkan peran di negara kita. Kita sudah bayar pajak yang kadang ndak logis. Sudah kena pajak penghasilan bulanan, beli motor kena pajak, tiap tahun masih bayar pajak kendaraan. Giliran susah, negara ndak ngurusi kita. Kalau ini mungkin logika lain lagi.

Atau memang kita ini sengaja memelihara logika superhero?

Marhaen

Marhaen

Istilah marhaen ini di populerkan bung Karno. Merujuk pada petani yang mengerjakan sawah, meskipun kecil, tapi milik sendiri.
Mungkin ini adalah lawan petani kapitalis, lahan sangat luas dan memperkerjakan orang.
Seorang mantan peternakan australia, yang lebih memilih pensiun, dan menjadi importir sapi australia, mengatakan, sudah biasa peternak sapi australia punya sapi 20.000 ekor. Wuah...seberapa itu...
Tentu saja para peternak dan petani dengan kekuatan modal raksasa begini, punya nilai tawar pada pasar.
Lha sekarang petani peternak kita?
Ini saran saya pada pemerintah, hati hati menerapkan kebijakan ekonomi pasar. Yang anda hadapi adalah para petani dan peternak kecil, yang tidak punya kekuatan melawan pasar. Mereka hanya bermodal kecil, ibaratnya hanya cukup untuk hidup hari ini dan besok.
Saya itu betul betul menunggu kebijakan emas dari Bapenas. Anda yang berwenang membuat plan pembangunan negeri ini. Di tunggu pak menteri...

BUMN

BUMN

Mohon maaf bagi panjenengan yang karyawan bumn.

Para founding fathers mengamanatkan kepada para penyelenggara untuk memperhatikan betul persoalan kesejahteraan bersama. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu sila kelima Pancasila. Keadilan sosial ini adalah pilihan sadar skema welfare, skema kesejahteraan negeri kita. Juga, tanah air dan kekayaan alam di dalamnya di gunakaan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Begitu yang saya ingat di UUD 1945.

Saya kira, dalam kerangka inilah bumn di dirikan. Untuk menunjang model welfare negeri kita, keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
Kita bahkan rela sebagian pajak yang kita bayar, di gunakan untuk menalangi kerugian yang menimpa bumn. Walaupun ini sebenarnya aneh, sektor bisnisnya jelas, pasarnya jelas, kok rugi.

Persoalan menjadi rumit, ketika bumn kita di paksa untuk bekerja bak perusahaan multi nasional, yang tujuannya hanya satu, profit. Apalagi kemudian pakai embel embel saham publik, atau kepemilikan saham oleh asing.

Saya tidak begitu paham tentang skema saham, kepemilikan asing dan sebagainya. Pertanyaan saya kepada pemerintah hanya satu, masihkah bumn bisa mengemban amanah keadilan sosial dan kemakmuran rakyat?

Mungkin ada jawaban, lha kepemilikan saham mayoritas kan ada pada pemerintah. Saya memikirnya sederhana, nilai lebih keadilan sosial dan kemakmuran bersamanya di mana ya? Wong pelayanannya ndak ada beda dengan yang lain. Atau saya kurang informasi dan salah berfikir ya?

Belum lagi isu jabatan jabatan di bumn yang gajinya perbulan sak hohah, dan di bagi bagi untuk pendukung ini itu. Fungsi keadilan sosial dan kemakmuran rakyat nya kemana?

Saya menulis ini, adalah ketukan pada pemerintah. Pengemban amanah rakyat. Mohon perhatikan baik baik keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.

Salam.